Kiai Masjkur, Missi Haji Bung Hatta dan Bung Karno

906
Ilustrasi: Kiai Masjkur (insert) dan jamaah haji Indonesia tiba di Tanjung Priok. (Foto: KITLV).

Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah)

MUSIM haji tahun ini, untuk kedua kalinya, pemerintah Republik Indonesia meniadakan perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci. Wabah Covid 19 yang melanda seantero jagad, melatarbelakangi keputusan pembatalan tersebut.

Sejak Indonesia merdeka, peristiwa pembatalan keberangkatan jamaah bukanlah peristiwa pertama. Riwayat mencatat, di masa Kabinet Soekiman Wirjosandjojo (1951-1952), Menteri Agama K.H. A. Wahid Hasjim pernah membatalkan 75% calon jamaah haji yang sudah siap berangkat.

Di masa itu, jamaah haji berangkat ke Tanah Suci dengan kapal laut yang menghabiskan waktu hampir satu bulan.

Ketika 25 ribu jamaah sudah berangkat, terbetik kabar di Saudi Arabia menjalar wabah penyakit yang cukup ganas.

Tidak mau ambi risiko baik maskapai perjalanan laut, maupun pemerintah mengambil keputusan cepat, membatalkan 75 ribu calon jamaah haji yang siap berangkat.

Kebijakan Menteri Agama Wahid Hasjim itu melahirkan reaksi di parlemen. Sejumlah anggota mengajukan usul Interplasi, tetapi usul itu kandas karena ditolak oleh mayoritas anggota parlemen yang memahami alasan pengambilan keputusan.

BACA JUGA: Ketika Kementerian Agama Meralat Penetapan 1 Syawal yang Telah Diumumkan

Haji dan Politik

IBADAH haji, tampaknya tidak pernah lepas dari persoalan politik. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda pernah ada gagasan untuk meniadakan perjalanan ibadah haji.

Pemerintah kolonial bercuriga berat, orang-orang pribumi yang pulang dari Makkah telah membawa virus anti pemerintah. Virus yang konon sangat radikal dan intoleran itu dikuatirkan mengganggu stabilitas yang pada gilirannya bisa memporakporandakan kekuasaan penjajah Belanda.

Di dekade ketiga abad XX, koran Swara Oemoem yang dipimpin oleh tokoh Budi Utomo, Dr. Soetomo, menurunkan serangkaian tulisan yang mengejek orang-orang yang pergi ke Makkah dengan mengatakan: “Lebih baik dibuang ke Digul daripada pergi ke Makkah”.

Rangkaian tulisan Swara Oemoem itu tidak ayal lagi mengundang kecaman dari kaum Muslimin, baik melalui Komite Umat Islam Surabaya, maupun melalui majalah Pembela Islam yang dipimpin oleh M. Natsir.

BACA JUGA: Ismail Banda, Diplomat Ulung yang Gugur dalam Tugas

Di Pembela Islam, Soekiman Wirjosandjojo yang mengaku menghargai kritik, menyebut tulisan di Swara Oemoem itu tidak senonoh dan menunjuk contoh para pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang sangat gigih melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda. “Mereka tidak takut dipenjara atau dibuang,” kata Ketua Umum Partai Masyumi (1945-1949) itu.

Soekiman kemudian menunjuk Haji Misbach sebagai contoh seorang Muslim yang karena keyakinannya terhadap Islam, lantang mengeritik kekuasaan kolonial. Akibatnya, dia dijebloskan ke penjara di Pekalongan selama lebih dari dua tahun.

Penjara tidak menyurutkan perjuangan lelaki kelahiran Surakarta itu sehingga akhirnya Haji Misbach, istri dan anak-anaknya, dibuang ke Manokwari, Papua Barat. Haji Misbach dan istrinya wafat dan dimakamkan di Manokwari.

Akibat reaksi keras umat Islam, Soetomo akhirnya menemui kaum Muhammadiyah di Surabaya. Seraya menyatakan bahwa kaum nasionalis tidak anti-Islam, Soetomo meminta maaf atas pemuatan rangkaian tulisan tersebut.

BACA JUGA: Fakta di Balik Penahanan Hatta-Sjahrir di Sukabumi dan Resolusi Tolak Negara Pasundan

Hatta dan Missi Haji

DI TENGAH perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Wakil Presiden Mohammad Hatta memanggil Menteri Agama K.H. Masjkur ke kediamannya di Reksobayan, Yogyakarta.

Dalam pertemuan pada hari Ahad itu, Bung Hatta memerintahkan Kiai Masjkur untuk mengirim Missi Haji ke Tanah Suci. Kepada Menteri Agama, Wapres mengatakan bahwa selama ini kita berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan senjata terbatas, dengan bambu runcing, dan dengan tekad yang meluap-luap. Dalam pada itu, Allah berfirman supaya kita meminta kepada-Nya. “Mintalah kepada-Ku, Aku akan kabulkan permintaanmu.”

Bung Hatta meminta supaya Missi Haji yang akan dibentuk oleh Kiai Masjkur berdoa di Makkah, Arafah, Mina, dan Madinah untuk kemenangan perjuangan bangsa Indonesia.

Di akhir pembicaraan, Bung Hatta mengatakan: “Pemerintah tidak punya uang. Karena itu, ongkosnya supaya dicari sendiri.”

BACA JUGA: Prof. DR. H.M. Rasjidi (1915-2001)

Demikianlah, maka Masjkur membentuk Missi Haji terdiri atas R.H. Adnan, bekas Ketua Mahkamah Tinggi Islam di Solo sebagai Ketua; M. Saleh Su’aidi, pejabat Kementerian Agama sebagai Sekretaris; dilengkapi dua anggota. Pertama, R.S.A. Sjamsir, saudagar Minang yang sudah lama tinggai di Solo. Selain sebagai saudagar, Sjamsir juga dikenal sebagai orang pergerakan. Akhir 1920-an, Bung Karno pernah menginap di rumah Sjamsir yang dekat dengan rumah Mas Wirjosandjojo, ayahanda Satiman dan Soekiman.

Kiai Masjkur meminta Sjamsir menjadi anggota Missi Haji, karena dia tahu Sjamsir orang berada yang dermawan. Biaya Missi Haji seluruhnya ditanggung oleh Sjamsir yang menjual harta bendanya berupa intan, berlian, dan perhiasan istrinya.

Anggota yang kedua ialah Ismail Banda, pegawai Kementerian Luar Negeri lulusan Mesir, yang memahami seluk beluk negara Timur Tengah. Ismail Banda gugur ketika hendak melaksanakan tugas sebagai Kuasa Usaha RI di Kabul, Afganistan. Pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dalam perjalanan dari Teheran ke Kabul.

BACA JUGA: Artidjo Al-Kostar Dkk: Pancasila Jangan Dijadikan Alat Pemukul

Missi Haji diterima oleh Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud bin Abdul Aziz. Raja menerima dengan hangat Missi Haji dan mendoakan keberhasilan perjuangan rakyat Indonesia.

Bendera Merah Putih yang diamanatkan oleh Bung Hatta supaya dikibarkan di Tanah Suci, berhasil dikibarkan di Makkah, di dekat tempat sa’i, di Arafah, dan di Mina. Sesudah Missi Haji kembali di Tanah Air, bendera itu diserahkan kepada Presiden Sukarno.

Missi Haji, Mengantar Haryati

SESUDAH tidak lagi menjadi Menteri Agama, Kiai Masjkur kembali bergiat di Nahdlatul Ulama (NU).

Pagi itu, ketika Kiai Masjkur sedang bersiap-siap berangkat dari rumahnya di Jl Imam Bonjol ke kantor Pengurus Besar (PB) NU di Jl. Kramat Raya, datang seorang tamu dari Sekretariat Negara yang memintanya untuk pada saat itu juga datang ke kantor Setneg. Ketika ditanya untuk urusan apa? Tamu dari Setneg itu mengaku tidak tahu.

Di kantor Setneg itulah dirinya diberi tahu bahwa Presiden Sukarno memerintahkan Kiai Masjkur berangkat ke Makkah, untuk menunaikan ibadah haji.

Kiai Masjkur yang kaget dan tidak percaya, bertanya: “Kapan harus berangkat?”

Jawaban yang diterima sungguh di luar dugaan: “Hari ini. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Paspor, tiket, uang saku, dan lain sebagainya.”

BACA JUGA: NU dan Masyumi Berpisah Tapi Tetap Kompak

Ketika Kiai Masjkur bercerita bahwa istrinya sedang pulang kampung ke Malang, pejabat Setneg itu meyakinkan agar tidak perlu cemas. “Ibu Masjkur bisa menyusul ke Makkah.”

Dari cara penugasan yang mendadak, Kiai Masjkur menyimpulkan bahwa missi yang akan diembannya kali ini tentulah missi yang terbilang penting, dia pun bertanya tentang tugasnya.

Dengan tenang dan percaya diri, pejabat Setneg memberi tahu bahwa tugas yang akan diemban oleh Kiai Masjkur ialah menemani istri ketiga Bung Karno, Ibu Haryati dan ibu-ibu pejabat yang lain menunaikan ibadah haji. Mendengar keterangan itu, Kiai Masjkur merasa tidak punya pilihan lain kecuali melaksanakan missi yang diembankan kepadanya.

Hari itu juga Kiai Masjkur berangkat ke Makkah memimpin rombongan haji Ny. Haryati Sukarno.

Setelah beberapa hari di Tanah Suci, datang Rais ‘Am Syuriah PB NU, K.H.A. Wahab Hasbullah bersama istri Kiai Masjkur dan anak lelakinya, Sjaiful Masjkur.

Kedua missi, Missi Haji Bung Hatta dan Missi Haji Bung Karno, meskipun substansinya berbeda, berhasil dilaksanakan oleh Kiai Masjkur.

Pada yang pertama, Kiai Masjkur menjadi “kapten yang tidak bermain”; pada yang kedua, Kiai Masjkur memimpin langsung. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here