Ketika Kementerian Agama Meralat Penetapan 1 Syawal yang Telah Diumumkan

1678
Potret perayaan Idul Fitri di masa lampau.

Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah)

BERSYUKUR kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ibadah Ramadhan 1442 telah kita laksanakan. Shalat Idul Fitri sebagai penanda berakhirnya ibadah Ramadhan, telah pula dilaksanakan

Alhamdulillah, tahun ini hasil hisab Muhammadiyah yang menetapkan 1 Syawal jatuh pada 13 Mei, diperkuat oleh hasil pantauan hilal yang dilaksanakan di puluhan tempat di seluruh Indonesia.

Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sesungguhnya tidak sulit lagi menghitung, memantau, dan mengumumkan hasil-hasilnya kepada masyarakat luas.

Hoofd Penghoeloe, Panitia Bom, dan Bedug

DI MASA LALU, dengan alat-alat komunikasi yang masih sederhana, tidak mudah menyebarluaskan hasil pemantauan bulan kepada khalayak luas.

Di masa pemerintahan kolonial Belanda, yang diberi kewenangan mengumumkan awal dan akhir Ramadhan, adalah Hoofd Penghoeloe tiap-tiap daerah. Mereka melakukan koordinasi dan membentuk Perhimpoenan Penghoeloe dan Pegawainya (PPDP) lengkap dengan Pengurus Besar yang disebut Hoofdbestuur PPDP.

BACA JUGA: Ismail Banda, Diplomat Ulung yang Gugur dalam Tugas

Hoofdbestur ini kemudian bekerjasama dengan media massa di masa itu, misalnya Berita Nahdlatoel Oelama.

Di BNO 25 Sya’ban 1356/1 November 1937 dimuat pengumuman Hoofdbestuur PPDP tentang “Auwal Ramadhan 1356 H”.

Tentu saja, tidak semua kaum Muslimin di masa itu membaca BNO. Selain tiras dan peredaran BNO yang terbatas, tingkat buta huruf latin, juga masih tinggi. Radio masih barang mewah, televisi tentu belum ada.

Di Jember, Jawa Timur, NO Cabang setempat membentuk Panitia Bom untuk memberi tahu masuknya bulan Ramadhan, tanda berbuka, dan tanda berakhirnya bulan Ramadhan.

Lain di Jember, lain pula di Batavia (Betawi). Di bulan Ramadhan, yang memegang peranan penting bagi kehidupan umat Islam ialah bunyi bedug.

BACA JUGA: Fakta di Balik Penahanan Hatta-Sjahrir di Sukabumi dan Resolusi Tolak Negara Pasundan

Bedug dipukul bertalu-talu sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan,  datangnya saat berbuka, tibanya saat imsak, dan tanda berakhirnya bulan Ramadhan.

Bedug di bulan Ramadhan hanya bisa dipukul atas perintah Hoofd Penghoeloe van Batavia

Engkoh dan Encim Berbahagia

JIKA Ramadhan telah dilaksanakan 29 hari, masyarakat Muslim di Betawi mulai berharap-harap cemas, apakah besok sudah bisa berlebaran atau masih harus menyempurnakan ibadah puasa menjadi 30 hari.

Kadang-kadang isyarat bedug datang sangat terlambat. Jauh sesudah shalat tarawih ditunaikan, ketika lampu di dapur sudah dipadamkan, dan masyarakat bersiap untuk tidur, tiba-tiba terdengar bunyi bedug bertalu-talu sebagai pemberitahuan bahwa besok sudah datang Idul Fitri.

Kampung yang hampir terlelap, kembali bangun. Hampir tengah malam itu, Warung Cina di tengah kampung dibuka kembali untuk melayani orang-orang yang masih perlu berbelanja.

Engkoh dan Encim pemilik warung melayani konsumen dengan senyum bahagia yang mengembang di bibirnya.

Interplasi Penetapan Idul Fitri

PENETAPAN hari raya Idul Fitri di masa Kabinet Soekiman Wirjosandjojo (1951-1952), pernah mendatangan interplasi dari parlemen

Interplasi adalah hak parlemen yang bernilai sangat tinggi, karena akan berakhir dengan pernyataan puas atau tidak puas terhadap keterangan pemerintah. Itulah sebabnya interplasi tidak diserahkan kepada anggota sebagai hak mereka.

BACA JUGA: Prof. DR. H.M. Rasjidi (1915-2001)

Interplasi adalah hak parlemen sebagai keseluruhan.

Interplasi diajukan oleh Wondoamiseno (PSII) dan kawan-kawan yang memandang pemerintah telah mengacaukan kehidupan kaum Muslimin.

Ada apa gerangan?

Pada tanggal 4 Juli 1951, Kementerian Agama, melalui radio mengumumkan bahwa 1 Syawal jatuh bertepatan dengan hari Jum’at 6 Juli 1951.

Akan tetapi, setelah larut malam, Kementerian Agama mendapat laporan yang memenuhi syarat, ada sejumlah saksi yang telah disumpah, dan karena itu laporan dari suatu tempat di Jawa Timur itu harus diterima karena sah menurut hukum.

Laporan dari Jawa Timur itu mengatakan bahwa hilal telah terlihat

Mendapat laporan tersebut,  melalui alat-alat komunikasi yang mungkin digunakan pada saat itu, Kementerian Agama meralat penetapannya yang terdahulu. Idul Fitri jatuh esok, hari Kamis, 5 Juli 1951.

BACA JUGA: Artidjo Al-Kostar Dkk: Pancasila Jangan Dijadikan Alat Pemukul

Penetapan Idul Fitri yang tidak tepat itulah yang dianggap oleh pengusul Interplasi, Wondoamiseno dkk telah mengacaukan kaum Muslimin Indonesia.

Pada hari Kamis 5 Juli 1951 itu, sebagian umat –yang mendengar pengumuman pemerintah yang meralat pengumuman sebelumnya– membatalkan puasanya dan berlebaran pada hari itu dan dengan tergopoh-gopoh membayar zakat fitrah; sebagian yang lain –karena tidak mendengar ralat dari pemerintah– tetap berpuasa.

Wahid Hasjim Menjawab

DALAM jawaban yang diberikan oleh Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim kepada parleman pada 4 Oktober 1951, antara lain dikatakan pada pokoknya Kementerian Agama tidak hendak mencampuri soal-soal yang mengenai hubungan antara seorang pemeluk agama dengan Tuhan, seperti halnya penetapan 1 Syawal.

Bagi Kementerian Agama, kata Menag, sebagai suatu kementerian yang mengurus soal-soal agama, penetapan tanggal 1 Syawal seperti yang sudah disiarkan, pada mulanya merupakan pedoman saja.

Nasib usul Interplasi Wondoamiseno dkk, menurut majalah Hikmah, 13 Oktober 1951, kurang mendapat perhatian, kurang mendapat animo dari para anggota parlemen.

Bahkan kabarnya fraksi-fraksi lain akan bersikap blanko (abstain) terhadap usul Interplasi itu. Dari sudut politik, usul Interplasi itu tampaknya kuran sexy. Bagi kaum Muslimin anggota parlemen, hendaklah lebih berhati-hati di dalam mengajukan satu soal ke parlemen. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here