Syaikh Nawawi Al-Bantani, Ulama Indonesia yang Mendunia

2684

Ibadah Haji dan Menuntut Ilmu di Mekkah

Pada usia 15 tahun, Syaikh Nawawi bersama dua saudaranya beranjak ke Kota Suci Mekkah, untuk melaksanakan rukun Islam kelima yaitu ibadah haji. Namun setelah selesai melaksanakan rukun dan ibadah haji, Syaikh Nawawi tidak pulang ke tanah air. Syaikh Nawawi menetap di Makkah untuk menuntut ilmu, di sana ia bertemu dengan para ulama-ulama besar asal Indonesia dan dari negara lain.

Setelah menempuh pendidikan bersama dengan para ulama seperti Imam Masjidil Haram Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Abdul Hamid Daghestani, yang tak terasa sudah dilalui selama tiga tahun. Akhirnya beliau merasa bekal ilmunya sudah cukup, lantas ia segera kembali ke Nusantara.

Syaikh Nawawi mengajar di sebuah pesantren milik orangtuanya, namun tak lama berada di tanah air, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Syaikh Nawawi.

Hal ini membuat Syaikh Nawawi akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah suci, Makkah. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Syaikh Nawawi ditunjuk menggantikannya.

Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi Al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.

Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang pernah mengunjungi Kota Makkah pada 1884-1885 menyebut, Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, KH. Asnawi Kudus, KH. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.

15 tahun sebelum kewafatannya, Syaikh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Sehingga, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.

Beberapa kalangan mengatakan sebenarnya jumlah karya dari Syaikh Nawawi ini mencapai angka 100 judul lebih, diantaranya disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas-Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here