Resep Panjang Usia Umi Cia

1801

Oleh: Dwiki Setiyawan (Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Informasi dan Komunikasi MN KAHMI)

Perempuan pemilik nama Roesna Syatria ini pada 24 Januari 2018 lalu genap berusia 84 tahun. Di kalangan aktivis pergerakan mahasiswa, alumni HMI Cabang Bandung asal Pariaman Sumatera Barat ini dikenal dengan panggilan Umi Cia. Praktis sedikit saja yang tahu nama aslinya.

Sudah terbilang bulan, Umi Cia meminta saya  bertandang ke kediamannya.

Kamis senja (12/4) kemarin, niat bersua Umi Cia di kediamannya akhirnya terkabul jua.

Saya temui di sebuah rumah nan teduh dan asri di bilangan  Sektor 9 Bintaro Jaya, rupanya Umi Cia sedang kontak-kontak via ponsel android miliknya.

Setelah mempersilakan duduk  (dan saya memilih teras rumah ketimbang ruang tamu), Umi mengatakan bahwa ia akan ke Bali mengikuti Jalan Sehat Nasional (JSN). Kontak-kontak via ponsel juga dalam rangka itu.

“Dwiki ikut acara ke Bali?” selidiknya.

Saya jawab tidak bisa lantaran anak-anak di rumah sedang ujian nasional dan akan mencari sekolah jenjang berikutnya.

“Ayo ikut saja, cuma sehari. Tiket dan penginapan selama di Bali Umi yang tanggung,” rayunya sembari mengatakan nginapnya di Hotel Bintang 5.

“Kita nginep di Inna Beach Hotel Sanur,” ujar Umi, yang saya jawab dengan senyuman.

“Bukan soal tiket dan penginapan, Umi. Tempo hari ada teman mengajak juga saya tolak dengan halus. Ini soal prioritas diri,” jawab saya.

Berbincang dengan Umi Cia tidak menampakkan bahwa dirinya kini jalan usia 85 tahun. Jebolan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung yang masuk keanggotaan HMI pada 1956 ini sudah mengecap asam garam kehidupan panjang.

Penglihatan dan pendengarannya masih sangat prima. Pendek kata panca inderanya masih sempurna.

Saya tahu Umi hingga kini tak ada pantangan soal makan. Kuliner lezat-lezat yang bagi sebagian orang dijauhi karena mengandung ini-itu, bagi Umi Cia tak jadi masalah. Hantam sahaja.

Pun tak pernah saya dengar Umi Cia terserang penyakit serius.

Bicaranya jelas. Sorot matanya tajam menghujam lawan bicara. Dan sekalipun kerut-kerut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan akan usia yang telah lanjut, namun tak dipungkiri aura kecantikan beliau di masa mudanya masih terpancar.

Saya tanyakan pada Umi Cia resep panjang usianya. Apakah rutin berolahraga?

“Tidak juga,” ujar Umi singkat.

Lantas ia menghela nafas panjang. Seolah-olah ingin mengatakan takut dirinya dikatakan riya’.

“Banyak sedekah,” ujar Umi lirih.

“Umi merasa damai dan bahagia karena dalam hidup dapat membantu orang lain. Mengharap ridha Allah semata,” lanjut dia.

Ia berkisah pernah salah seorang pembantu rumah tangganya ingin punya mesin cuci. Mengutarakan maksudnya pada Umi. Padahal, kata Umi, ia tak punya uang Rp 3 juta yang diharapkan sang pembantu. Toh kemudian ia bisa memberi dana yang diminta. Setelah pontang panting sana sini.

Kisah-kisah Umi Cia yang mewakafkan hidupnya bagi kaum tertindas, bersedekah khususnya di kalangan aktivis HMI sudah menjadi legenda.

Berpuluh bahkan beratus aktivis HMI dari manapun asalnya,  pernah ia tampung di kediamannya (saat itu) di Kompleks Deplu Bintaro. Ia beri makan. Ia beri transpor. Bahkan yang tak punya baju pun, ia belikan.

Lukman Hakiem, mantan Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta, pernah mengisahkan saat-saat delegasi yang pimpinnya akan berangkat Kongres HMI 1983 di Medan kekurangan dana. Berapa terkejutnya dia setelah bertemu Umi Cia, diberi BPKB dan STNK mobil pribadinya untuk digadaikan sebagai biaya ke kongres. Yang tentu saja ditolak Lukman Hakiem dengan halus.

Umi Cia pun cerita pada saya, untuk keperluan sewa bus rombongan yang menginap di rumahnya ke suatu Kongres HMI, ia sampai menjual meja kuno antik pribadi miliknya seharga Rp 10 juta (untuk harga sekarang sekira Rp 100 juta).

Dan masih banyak kisah lain betapa untuk perjuangan Hijau Hitam ini, Umi Cia tak pernah berhitung.

“Apakah ada anggota keluarga yang keberatan Umi?” sergah saya.

Umi menjawab diplomatis, “Adik kandung saya almarhum Iwan Syarif, alumni HMI yang juga tokoh KAMI Bandung, pernah berpesan pada anak-anak: kalau untuk keperluan HMI, Umi jangan diprotes. Darah yang mengalir di tubuhnya itu hijau semua!”

Umi Cia juga mengatakan bahwa didikan banyak bersedekah diwariskan dari ibunya. Hj. Rekna Dalima Hamid. Semasa hidupnya gemar sedekah. Ibunda Umi Cia ini wafat pada usia lebih dari 100 tahun.

Di samping hobi sedekah, Umi Cia pun rajin silaturahmi. Ia pun masih berkobar-kobar untuk menuntut ilmu, seperti keikutsertaannya dalam kursus Bahasa Arab di KAHMI Center.

Jalin kelindan aktivitas itu pula yang muaranya memperpanjang umur. Keseimbangan aspek pribadi dan sosial.

Umi Cia yang beranak pinak: 4 anak, 12 cucu dan 1 cicit itu bersyukur atas karunia yang Allah SWT berikan padanya.

Umi Cia seorang janda. Suaminya, Malik Zain, alumni ITB yang pernah bekerja di BUMN Pantja Niaga, berpulang sejak Juni 1975. Tatkala anak-anak masih kecil dan butuh biaya untuk kelangsungan pendidikan.

Rasa syukur itu lebih-lebih lantaran anak-anak dan cucunya berhasil dalam pendidikan dan kehidupan yang dijalaninya.

Dari 4 orang anaknya yang mayoritas pernah pula aktif di HMI, mereka kini telah S2 dan S3, berkarier di Kominfo, Ditjen Pajak, Dosen/Atase Pendidikan, dan Jasindo.

Cucu-cucunya pun bersekolah dan tamatan sekolah bergengsi. Salah satunya perintis berdirinya kembali Komisariat HMI di ITB Bandung  yang kini S-2 di Universitas Tokyo, Jepang.

Dikatakan kaya juga tidak, namun Umi Cia merasa cukup.

Pungkas kata apabila boleh menarik benang merahnya, maka tentang sosok perempuan tangguh Umi Cia ini cukup dirumuskan dengan meminjam kata-kata Reinhold Messner: pendaki gunung, petualang, penjelajah, penulis, dan politisi Partai Hijau,”Hal-hal menakjubkan dalam hidup Anda adalah segala yang Anda kerjakan, bukan segala yang Anda miliki.”

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here