Pentas Teater La Tansa Kuak Perspektif Baru tentang Azan

1232

Pentas Azan yang disutradarai Chavchay Syaifulah dimulai dengan tari kolosal yang berpangkal dari simbol-simbol gerakan azan dan salat. Beberapa gerakan terlihat dinamis untuk menggambarkan potret kehidupan dunia saat ini, termasuk di Indonesia. Lalu pentas melakukan flashback ke situasi musyawarah Rasulullah beserta para sahabatnya tentang alat yang akan dipakai sebagai panggilan salat, lonceng atau terompet.

Namun ketika Abdullah bin Sa’ad dan Umar bin Khattab menjelaskan perihal mimpinya di hadapan Rasulullah tentang azan beserta struktur lafadznya, Rasulullah pun menyetujui azan sebagai panggilan salat dan meminta Bilal bin Rabbah sebagai menjadi muazin pertama dalam sejarah peradaban Islam.

Pentas kemudian berkembang ke dalam tragedi keluarga pengusaha kaya yang rajin bersedekah dan mendirikan masjid di mana-mana, namun berujung pada kebangkrutan bisnisnya dan situasi keluarganya yang runyam. Di luar dugaan, ajudan pengusaha yang bernama Bilal tampil sebagai tokoh yang mampu menunjuk jalan keluar dari kemelut hidup yang kian membeku.

Hubungan yang bermula sebagai tuan dan ajudan berkembang ke hubungan yang lebih humanis. Di saat istri sang pengusaha semakin gila belanja dan anaknya yang kian kecanduan gadget, Bilal yang selalu tampil lugu dan polos bukan saja mampu mengembalikan semangat hidup tuannya, namun menunjukkan jalan menuju ridha Allah melalui azan dan salat.

“Ya benar, bapak sudah membangun masjid di mana-mana. Tapi yang bapak bangun itu hanya fisik-fisik masjid saja. Bapak belum pernah membangun masjid di hati bapak, di jiwa Bapak. Padahal itu jauh penting,” ujar Bilal kepada tuannya dengan polos.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here