Menyoal Shalat Jumat Virtual, Bagaimana Hukumnya?

1199

Oleh: Drs H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Belakangan ini muncul fenomena dimana ada sekelompok orang yang melaksanakan shalat Jumat secara virtual. Muncul pro dan kontra, ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Berikut ini saya sajikan berdasarkan pendapat para ahli hukum dari madzhab yang empat. Setidaknya ada dua pandangan para ulama ini.

Pandangan pertama, pendapat para ulama dari masing-masing madzhab.

Ulama Syafi’iyah membuat ketentuan lebih rinci perihal poin ketiga. Mereka menyatakan bahwa jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta dan tidak boleh terhalang oleh apapun. Artinya, dalam konteks ini, makmum harus mengikuti shalat Jumat secara live imam/khatib yang disiarkan dari masjid terdekat tanpa terhalang oleh apapun.

Mazhab Syafi’i menghitung jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta kurang lebih berdasarkan urf (lebih tiga hasta masih boleh), yang terhitung dari akhir shaf di masjid, akhir masjid, atau pekarangan netral antara masjid lahan mati. Mazhab Syafi’i menyatakan tidak sah shalat Jumat dimana sesuatu menghalangi imam di masjid dan makmum di rumah.

(Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz IV, halaman 182).

Adapun Imam Malik mengatakan bahwa shalat berjamaah keduanya sah, kecuali shalat Jumat. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan pelaksanaan shalat imam dan makmum tetap sah baik shalat berjamaah maupun shalat Jumat.

لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الامام في المسجد وحال بينهما حائل لم يصح عندنا وبه قال احمد وقال مالك تصح إلا في الجمعة وقال أبو حنيفة تصح مطلقا

“Jika seseorang melakukan shalat di rumah atau sejenisnya dengan mengikuti shalat imam di masjid–sementara keduanya terhalang oleh sesuatu–maka shalatnya tidak sah menurut kami (mazhab Syafi’i). Imam Ahmad juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Imam Malik, pelaksanaan shalat berjamaah seperti ini sah kecuali pada shalat Jumat. Tetapi bagi Abu Hanifah, pelaksanaan shalat seperti ini sah secara mutlak (baik shalat Jumat maupun berjamaah),” (An-Nawawi, 2010 M: IV/182).

Guru saya almarhum Assyekh Mualim KHM Syafi’i Hadzami (dan juga sebagai Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M) pernah membahas persoalan serupa, yaitu tentang orang sakit yang shalat Jumat, sementara kita saat ini karena Pandmei Covid-19. As-Syekh Muallim Syafi’i Hadzami (1931-2006 M) pada media awal 1970-an.

Mencoba menjawab pertanyaan bagaimana caranya bila seseorang sedang sakit keras lalu shalat Jumat berjamaah melalui radio, yang kemudian dijawab beliau berdasarkan madzhab Syafi’i.

Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang sakit keras tersebut mengikuti Jumat dengan mendengarkan radio sekaligus sambil tiduran/rebahan?

Beliau menjawab, “Orang sakit yang dapat permisi meninggalkan sembahyang Jumat tentu saja boleh mendengarkan khutbah melalui transistor di rumahnya, sambil berbaring di tempat tidurnya. Tetapi, dia tidak bisa mengikuti shalat Jumat yang diadakan di masjid yang jauh antara jarak rumahnya itu sejauh tiga ratus hasta atau dia lebih terkemuka ke arah kiblat daripada imam masjid yang terdengar suaranya di radio”.

Alhasil, tidak bisa, selama syarat-syarat berjamaah tidak terpenuhi, di antaranya jangan ada dinding antara dia dengan imam. Lagi pula kalau listrik mati atau baru baterai habis, maka buntu jamaahnya. Alhasil, banyaklah mawani‘ yang tidak mengesahkan sembahyang berjamaah kepada  imam di radio. Sembahyang imamnya radio, lucu kedengarannya.

BERIKUTNYA >>

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here