Menyoal Shalat Jumat Virtual, Bagaimana Hukumnya?


لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الامام في المسجد وحال بينهما حائل لم يصح عندنا وبه قال احمد وقال مالك تصح إلا في الجمعة وقال أبو حنيفة تصح مطلقا
“Jika seseorang melakukan shalat di rumah atau sejenisnya dengan mengikuti shalat imam di masjid–sementara keduanya terhalang oleh sesuatu–maka shalatnya tidak sah menurut kami (mazhab Syafi’i). Imam Ahmad juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Imam Malik, pelaksanaan shalat berjamaah seperti ini sah kecuali pada shalat Jumat. Tetapi bagi Abu Hanifah, pelaksanaan shalat seperti ini sah secara mutlak (baik shalat Jumat maupun berjamaah),” (An-Nawawi, 2010 M: IV/182). Guru saya almarhum Assyekh Mualim KHM Syafi’i Hadzami (dan juga sebagai Rais Syuriyah PBNU 1994-1999 M) pernah membahas persoalan serupa, yaitu tentang orang sakit yang shalat Jumat, sementara kita saat ini karena Pandmei Covid-19. As-Syekh Muallim Syafi’i Hadzami (1931-2006 M) pada media awal 1970-an. Mencoba menjawab pertanyaan bagaimana caranya bila seseorang sedang sakit keras lalu shalat Jumat berjamaah melalui radio, yang kemudian dijawab beliau berdasarkan madzhab Syafi’i. Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang sakit keras tersebut mengikuti Jumat dengan mendengarkan radio sekaligus sambil tiduran/rebahan? Beliau menjawab, “Orang sakit yang dapat permisi meninggalkan sembahyang Jumat tentu saja boleh mendengarkan khutbah melalui transistor di rumahnya, sambil berbaring di tempat tidurnya. Tetapi, dia tidak bisa mengikuti shalat Jumat yang diadakan di masjid yang jauh antara jarak rumahnya itu sejauh tiga ratus hasta atau dia lebih terkemuka ke arah kiblat daripada imam masjid yang terdengar suaranya di radio”. Alhasil, tidak bisa, selama syarat-syarat berjamaah tidak terpenuhi, di antaranya jangan ada dinding antara dia dengan imam. Lagi pula kalau listrik mati atau baru baterai habis, maka buntu jamaahnya. Alhasil, banyaklah mawani‘ yang tidak mengesahkan sembahyang berjamaah kepada imam di radio. Sembahyang imamnya radio, lucu kedengarannya. BERIKUTNYA >> Saya melihat suatu ta‘liq pada juz ke II dari Kitab Fiqhussunnah bagi Assayyid Sabiq, halaman 121 sebagai berikut:أفتى العلماء بعدم صحة الصلاة خلف الراديو
“Telah berfatwa ulama dengan ketiadaan sah sembahyang di belakang radio,’” (KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama, [Kudus, Menara Kudus: 1982 M], juz III, halaman 180). As-Syekh Al-Muallim KHM Syafi’i Hadzami mengutip juga Al-Majmu’ karya An-Nawawi yang memberikan pilihan antara shalat Jumat di masjid atau shalat Zhuhur bagi orang yang tidak terkena kewajiban Jumat. Tetapi ia tidak menyarankan shalat Jumat di belakang radio. (KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama, [Kudus, Menara Kudus: 1982 M], juz III, halaman 181). Hasilnya, tidak sah. Demikian Pandangan guru saya As-Syekh Muallim Syafi'i Hadzami. Pendapat kedua, qiyas pandangan para ulama empat madzhab sebagai alternatif darurat. Jika mengikuti pandangan ulama Syafi'iyyah serta Ahmad bin Hambal dengan catatan tanpa penghalang;dan pandangan Imam Abu Hanifah yang menyatakan sah pelaksanaan shalat Jumat dimana imam di masjid dan makmum di rumah, maka poin yang perlu diperhatikan dalam shalat Jumat dengan live streaming atau siaran langsung via media sosial adalah soal pengetahuan makmum atas gerakan imam. Ini sangat krusial dalam pelaksanaan shalat Jumat yang mengharuskan berjamaah karena adanya ketentuan dimana makmum tidak boleh tertinggal dari imam beberapa rukun fi’li atau gerakan imam.الشرط الثاني العلم بالأفعال الظاهرة من صلاة الامام وهذا لا بد منه نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب ثم العلم قد يكون بمشاهدة الامام أو مشاهدة بعض الصفوف وقد يكون بسماع صوت الامام أو صوت المترجم في حق الأعمى والبصير الذي لا يشاهد لظلمة أو غيرها وقد يكون بهداية غيره إذا كان أعمى أو أصم في ظلمة
“Syarat kedua adalah mengetahui gerakan fisik pada shalat imam. Tentu ini tidak boleh tidak, sebagaimana nash As-Syafi’i dan disepakati ashab. Lalu, pengetahuan (atas gerakan imam) dapat terjadi dengan menyaksikan imam atau menyaksikan sebagian shaf. Pengetahuan juga dapat terjadi dengan mendengarkan suara imam atau suara penerjemah bagi jamaah disabilitas netra/jamaah yang melihat tetapi tidak dapat menyaksikan karena faktor gelap atau faktor lainnya. Ia dapat terjadi dengan petunjuk lainnya bila jamaah penyandang disabilitas netra atau disabilitas rungu di kegelapan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 357). Oleh karena itu, untuk menghindari ketertinggalan makmum atas gerakan imam, pihak masjid yang menyiarkan siaran langsung dan juga makmum perlu mempersiapkan perangkat digital yang memadai untuk memaksimalkan akurasi berjamaah. Mereka perlu memastikan sinyal, baterai, kuota, volume yang cukup, tripod, dan perangkat lainnya. Kecuali itu, makmum juga harus memerhatikan posisinya dengan posisi imam dalam kaitannya dengan mereka yang melaksanakan shalat Jumat online. Jangan sampai posisi makmum lebih di depan daripada imamnya sebagaimana ketentuan umum perihal shalat berjamaah. Shalat Jumat secara online tetap tidak mengurangi tuntutan lain dalam ibadah Jumat, yaitu menjaga kesunnahan hari Jumat dan mendengarkan dengan perhatian dua khutbah Jumat. Ini hanyalah pendapat darurat jika dihimpun pendapat Jumhur Ulama maka kebolehannya pun bersifat darurat, bila kedaruratan hilang maka otomatis tidak sah shalat secara daring tersebut. Wallahu a’lam bish shawab.Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group