Menghidupkan Hati

609

Oleh: Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)

Syahdan, di masa Nabi ada seseorang yang tengah memaki hamba sahayanya. Padahal dia sedang berpuasa. Nabi Muhammad menghampirinya dan menyuruh yang bersangkutan makan. Orang itu protes, “aku tengah berpuasa, ya Rasulullah”.  Lalu Nabi bersabda, yang artinya, “banyak orang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah).

Mungkin saat ini ada yang tengah saling maki karena satu dan lain hal. Hatta di kala berpuasa. Pun bertengkar keras di media sosial,  terpicu isu-isu panas hingga saling menumpah amarah. Tumbuh rasa saling tidak suka, bahkan membenci antarsesama.

Medsos itu dunia baik, tetapi tidak jarang garang. Orang santun pun sering terpancing amarah. Berita hoax, fitnah, dan panas berseliweran setiap detik. Bukan medsosnya, tapi manusia di balik dunia daring itu yang tidak bijaksana. Orang seolah boleh apa saja.

Di bulan Ramadan saatnya berbenah diri. Agar segala amarah tidak mudah tumpah, hidupkan hati. Hati atau qalbu, ialah bagian terdalam dari jiwa manusia, yang menjadi radar paling utama menyaring mana yang baik dan buruk. Hati itu mutiara berharga bagi hidup manusia. Bagai matahari memancarkan sinar, yang menyibak gelap.

Hati itu berwatak hanif, penyaring segala gundah di jiwa. Bagai navigasi, kompas, dan peta bagi pelaut di samudra lepas. Di kala siempunya tubuh bimbang tentang sesuatu, hatilah muaranya. Nabi mengingatkan: “istafti qalbaka”: “tanyakan pada hatimu” (HR. Ahmad).

Hati adalah peredam marah dan benci, dua virus yang sering menggerogoti jiwa setiap insan. Ketika marah dan benci menyatu, sikap adil dan baik pun sering  luruh. Padahal Allah mengajarkan, ciri orang bertaqwa ialah menahan marah (QS Ali Imran: 134). Bersama itu setiap muslim diperintahkan untuk bersikap adil dan ihsan (QS An-Nahl: 90).

Ihsan itu berlabuh di hati, yang memancarkan kebaikan melintas. Adil harus disertai ihsan. Sering orang karena bersemangat tinggi menegakkan keadilan, lantas   berrtindak tidak adil kepada orang, karena ihsannya hilang. Orang lain yang dilihat salah semuanya, seakan tanpa sisi kebenaran.

Manusia hidup itu tiada yang sempurna. Hatta setelah menjadi muslim yang mengaku “kaffah” (menyeluruh) sekalipun. Insan ma’sum hanyalah Nabi akhir zaman. Dialah uswah hasanah dalam segala hal. Figur utama yang di dalamnya, ujar Aisyah, menjelma seluruh nilai ajaran Al-Quran.

Maka, jadikan Ramadan saat paling bening untuk menghidupkan hati. Semisal menghidupkan rasa kemanusiaan, lembut, cinta kasih, toleran, damai, dan baik hati terhadap sesama tanpa sekat apapun. Selain nilai kebenaran dan kejujuran.

Bukalah rongga hati dengan iman agar disinari petunjuk Ilahi (QS Ath-Thagabun: 11). Boleh jadi karena terlalu rasionalnya kita setiap hari, hati dan rasa kurang hidup di jiwa. Sehingga diri kita menjelma jadi robot bernyawa, yang kering hati dan rasa.

Beragama pun karena terlalu verbal dan instrumental, sering kehilangan sisi irfani (ranah batin) dari buah ihsan. Beragama ala robotik, serbakeras dan egois. Puasanya sekadar mengubah jadwal makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis dari siang ke malam. Minus puasa hati.

Saatnya Ramadan menjadi wahana “mikraj ruhani” menghidupkan hati, sebagai buah dan aktualisasi bertaqwa. Apalagi ketika kita tengah menghadapi musibah Corona yang membuana. Begitu banyak korban jiwa dan derita di seluruh dunia.

Saatnya puasa Ramadan menghidupkan hati untuk menyelamatkan jiwa bersama. Hati yang menyuburkan ruang empati, welas asih, peduli, dan berbagi bagi sesama. Itulah jantung hati beragama yang menyebarluaskan rahmat bagi semesta!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here