Memiliki Kekayaan Sejati

1078
Sedekah 2
Ilustrasi Infaq. (Foto: dompetalquran)

Membangun Mental Kaya

Kekayaan hati adalah perkara jiwa atau bersifat psikologis. Artinya, untuk memiliki kekayaan hati maka yang perlu dibangun adalah sikap atau mental kaya. Pada dasarnya mental kaya hanya dimiliki orang-orang berjiwa besar. Orang-orang berjiwa kerdil akan selalu merasa sebagai orang miskin yang merasa tidak mampu memberi atau membantu orang lain. Dia selalu merasa sebagai sosok yang perlu mendapatkan pertolongan.

Namun, memiliki mental kaya, sesungguhnya dapat dibiasakan atau dilatih hingga seseorang yang awalnya pelit dapat berubah menjadi dermawan. Dalam sejumlah literatur, Saya menemukan beberapa cara agar kita dapat mengembangkan mental kaya:

Pertama, menyakini bahwa harta yang kita miliki adalah titipan dan amanah yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla untuk menguji seberapa kuat kita memikul titipan dan amanah tersebut. Dalam hal ini Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kita: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar,” (QS. Al-Anfal : 28).

Kedua, tidak takut miskin karena rajin bersedekah. Sebagaimana nasihat Rasulullah Saw. kepada Bilal: “Bersedekahlah, Wahai Bilal! Jangan takut kekurangan dari pemilik ‘Arsy,” (HR. Bazzar dan Thabrani).

Ketiga, takut ancaman dan hukuman dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk orang-orang pelit. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di Hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS: Ali Imran: 180).

Keempat, meyakini sedekah yang ia lakukan pada hakekatnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan orang lain yang menikmatinya. Firman Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan hal ini: “..dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Muzzammil: 20).

Kelima, memiliki keinginan kuat untuk mendapatkan naungan pada Hari Pembalasan, yakni saat kesulitan manusia memuncak dan matahari didekatkan dengan ubun-ubun manusia. Ketika itulah orang-orang yang suka bersedekah mendapat jaminan. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya adalah orang yang bersedekah dan menyembunyikannya.

Lengkapnya, hadits tersebut berbunyi: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yakni: Pemimpin yang adil; Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ibadah kepada Rabbnya; Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid; Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah; Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata: ‘Aku takut kepada Allah’; Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; dan Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis,” (HR.Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712).

Melalui lima cara di atas kita dapat belajar memiliki mental kaya. Orang yang sudah memiliki mental kaya akan cepat bereaksi ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongannya. Semampunya akan dia usahakan agar mampu menolong orang lain, baik dengan harta atau fisiknya. Orang-orang yang memiliki mental kaya juga mampu memberikan hal-hal lain yang dimilikinya, seperti tenaga, pikiran, ide dan gagasan, serta doa, atau memberikan perhatian, cinta, dan kasih sayang.

Namun, untuk meraih kebaikan dari Allah ‘Azza wa Jalla atas pemberian yang kita berikan, tentu saja harus berdasarkan keikhlasan. Memberi tak boleh dilakukan karena pertimbangan bisnis (QS Al-Muddatstsir: 6), tetapi karena pertimbangan kebaikan (QS. Ali Imran: 92). Memberi juga bukan solusi menang-menang (win-win solution), melainkan jalan keluar menuju kebesaran (greatness), meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla, dan kebahagiaan (happiness) abadi di dunia dan akhirat.

Wallahu A’lam bish Shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here