Konsumsi Halal Membentuk Generasi Andal

1214
Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Profesor Amany Lubis
Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Profesor Amany Lubis (Foto: Edwin Budiarso/Muslim Obsession)

Oleh: Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. (Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga)

Konsumsi pangan halal itu merupakan kewajiban bagi kita semua, umat yang beriman. Dengan demikian, menjadi kewajiban kita juga untuk mencari serta mengupayakan adanya pangan halal yang diperlukan untuk kebutuhan konsumsi kita.

Sebagai Muslim, tentu kita harus menyadari serta menghayati kewajiban ini. Sehingga harus terus berusaha mencari konsumsi yang halal, sesuai dengan perintah Allah dalam ayat yang artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 168-169).

Kalau orang mengaku Muslim, tapi tidak peduli dengan kehalalan dalam konsumsi, berarti dia melanggar perintah Allah yang telah mewajibkan hal ini. Dan kalau melanggar kewajiban agama, berarti dianggap melakukan perbuatan yang berdosa, dengan dampak niscaya hidupnya pun akan jauh dari keberkahan, dunia apalagi akhirat.

Ya, sumber keberkahan hidup muslim dalam keluarga dan rumahtangganya, diantaranya adalah dengan konsumsi yang halal. Kehidupan keluarga yang harmonis, anak yang berprestasi dalam belajarnya, sukses dalam hidupnya, giat beribadah kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tuanya, masyarakat dan umat. Semua itu insya Allah dapat dicapai dengan konsumsi pangan yang halal. Karena jelas, halal itu membawa berkah. Sebagaimana doa kita ketika akan makan: “Allahumma barik lanaa fii maa rozaqtanaa…” (ya Allah berkahilah kami, berkahilah hidup keluarga kami, dengan rizqi yang Engkau karuniakan kepada kami…”).

Diantara keberkahan dengan konsumsi rizki yang halal adalah dapat membina keluarga dan generasi yang menyejukkan jiwa. Selaras dengan doa yang termaktub di dalam Al-Quran: “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Furqon, 25:74).

Catatan sejarah da’wah menunjukkan, konsisten dengan hidup halal, terbukti menghasilkan hidup berkah dan dapat membentuk generasi yang handal di medan perjuangan da’wah. Perhatikanlah sebagai contoh, Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm Nubalâ’  membawakan riwayat dari Jâbir yang ketika melihat Husain bin ‘Ali (cucu Baginda Nabi saw) masuk ke dalam Masjid mengatakan: “Barangsiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli Surga maka lihatlah Husain ini”. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah Saw.”

Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya ini adalah salah satu malaikat yg belum pernah turun ke bumi sebelum malam ini, ia meminta izin Rabbnya untuk mengucapkan salam padaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa Fathimah adalah penghulu wanita surga sedangkan Al-Hasan dan Al-Husain adalah penghulu pemuda surga.” (H.R. Imam Tirmidzi).

Rasulullah saw sebagai insan teladan, begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari perkara yang haram. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abdullah bin ‘Umar menukilkan sebuah hadits dari Rasulullah saw bahwa pada suatu malam Rasulullah saw sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, “Apakah yang membuat engkau Rasulullah saw tidak bisa tidur?” Beliau saw pun menjawab: “Sesungguhnya aku menemukan di bawah bahuku sebutir kurma, maka aku makan, sedangkan di sisi kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka aku takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah.” (H.R. Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar).

Subhanallah, betapa teladan Rasulullah demikian luar biasa. Bahkan sebutir kurma pun harus dijaga dengan sikap wara’, sangat berhati-hati. Allahumma fasholli wa sallim alayka ya Rasulallah. Betapa kami sering lalai dalam aspek konsumsi ini. Maka beri kami kemampuan ya Allah, agar dapat meneladani jejak-langkahmu ya Nabiyallah.

Selain bagi dirinya sendiri, Beliau saw juga menjauhkan anak-cucunya dari memakan yang haram. Bahkan melarang cucunya makan sekedar sebutir kurma yang berasal dari sedekah –karena sedekah diharamkan bagi keluarga beliau saw– dan memperingatkan sang cucu. Diceritakan pula oleh Abu Hurairah: Ketika Hasan (cucu Nabi saw) masih kecil, ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya (masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi saw memerintahkan: Kikh kikh. “muntahkan, muntahkan.” – agar membuangnya kemudian beliau bersabda–: “Apakah kau tidak merasa bahwa kami tidak makan sedekah.” (H.R. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Riwayat lain menyebutkan: Al-Hasan bin Ali menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah saw segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah saw: “Apa masalah wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah saw pun menjawab:( “Sesungguh kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”

Berkenaan dengan hal ini, perlu diketahui dan dikemukakan lagi, Nabi Muhammad saw, keluarganya dan keturunannya dilarang menerima sedekah dan zakat, tetapi boleh menerima hadiah. Dengan bimbingan Baginda Rasul saw, yang sangat ketat dalam aspek konsumsi yang halal, maka Al-Hasan dan Al-Husain menjadi generasi handal, sebagai sayyid (pemuka) dan penghulu dari para pemuda ahli Surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang maknanya telah dikutip di atas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here