Dari Partai Masyumi ke Partai Muslimin Indonesia

2184

Dilema Partai Muslimin

Kenyataan di lapangan ternyata sangat berbeda dengan kenyataan di atas kertas. Ketika Panitia Tujuh dan para pendukung rehabilitasi Masyumi bersedia melakukan kompromi dengan Pemerintah untuk menghilangkan sama sekali tokoh-tokoh Masyumi dari kepemimpinan Partai Muslimin, di lapangan justru menunjukkan kesediaan masyarakat bergabung ke dalam Partai Muslimin lantaran mereka berharap partai baru ini dipimpin oleh para pemimpin Masyumi. Mereka hanya mau bergabung jika Partai Muslimin tumbuh seperti dan dalam tradisi Partai Masyumi.

Sebuah pilihan sulit segera melilit. Sementara tidak ada seorang pun yang menginginkan konfrontasi dengan Pemerintah, di sisi lain tidak seorang pun yang menginginkan Partai Muslimin lahir dan tumbuh tanpa ruh dan semangat Masyumi.

Dalam pada itu, duet kepemimpinan Djarnawi-Lukman Harun sampai juga kepada kesimpulan bahwa Partai Muslimin tidak akan mampu membuat landasan kuat yang didukung masyarakat tanpa keikutsertaan para pemimpin Masyumi di dalamnya. Seorang tokoh pemuda di Sumatera Utara, seperti dicatat Allan A. Samson, menegaskan pendiriannya: “Apabila Natsir atau Prawoto tampil di sini untuk berbicara, maka kesetiaanlah yang akan mengikat hati umat, tua atau muda. Tergantung pada nama-nama inilah (masa depan) Partai Muslimin. Tidak ada seorang pun yang menyamai mereka.”

Dengan suasana seperti itulah Partai Muslimin memasuki Muktamar I di Malang, 2-7 November 1968. Dan seperti dikemukakan oleh Wakil Ketua Panitia Tujuh, Anwar Harjono, “Dengan pertimbangan matang, kita menganggap belum tepat waktunya bagi bapak-bapak tokoh Masyumi untuk tampil kembali. Kita lalu menyepakati Pak Roem sebagai tokoh yang kita anggap moderat dan kita duga bisa diterima oleh Pemerintah. Bagi kita, muktamar Partai Muslimin hendaklah merupakan rehabilitasi Masyumi secara de facto.”

Mr. Mohamad Roem sendiri sangat menyadari posisinya sebagai salah seorang pemimpin Masyumi. Oleh karena itu, sebelum maju ke Muktamar, Roem mengajukan syarat, Pertama, Roem hanya akan tampil memimpin Partai Muslimin jika telah adaclearence dari Pemerintah. Kedua, karena Roem masih sedang menulis buku, diharapkan tenaga-tenaga yang lebih muda dapat tampil dalam kepemimpinan Partai Muslimin. Roem menyebut beberapa nama Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), tetapi usul ini tidak mendapat dukungan. Orang-orang tetap mendesak supaya Roem bersedia menjadi Ketua Umum Partai Muslimin.

Roem sungguh-sungguh mengambil sikap yang sangat moderat. Kepada peserta muktamar Roem mengingatkan, tidak baik mengambil sikap konfrontasi dengan Pemerintah. Sebab, walaupun itu bertentangan dengan hak asasi, kalau Pemerintah sudah mengatakan tidak menerima, ini mesti diperhatikan. Menurut Roem, partai politik itu mesti ada understanding dengan pemerintah. Tidak perlu bermusuhan. Tidak boleh bermusuhan.

Entah sikap moderat dan syarat yang diajukan Roem tidak sampai ke telinga Pemerintah, atau memang Pemerintah tidak mau tahu, beberapa jam sebelum penutupan Muktamar, datang telegram dari Sekretaris Negara Mayor Jenderal Alamsyah yang mengatakan bahwa Pemerintah tidak dapat menerima pencalonan Roem sebagai Ketua Umum Partai Muslimin. Fakta bahwa Roem termasuk pemimpin kelas satu di Masyumi menyebabkan kemoderatannya yang bagaimanapun tidak bisa diterima oleh ABRI.

Karena Ketua Umum terpilih tidak mendapat clearence dari Pemerintah, dan sambil mengupayakan clearence dari Pemerintah, maka kepemimpinan Partai Muslimin untuk sementara diserahkan kembali kepada duet Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun.

Dalam usaha memperoleh clearence itu, Prawoto Mangkusasmito mengingatkan agar seluruh warga Partai Muslimin bersikap sebagai seorang demokrat, jangan sekali-sekali terseret kepada alam pikiran otokratis. Dan jangan sekali-sekali membikinclearence yang sudah tercapai dalam keluarga Bulan Bintang menjadi pudar kembali.

Harapan memperoleh clearence pernah muncul, ketika Mayjen Alamsyah meminta jasa baik Mr. Sutan M. Rasjid untuk menyampaikan pesan kepada Roem bahwa Pemerintah bermaksud memberikan clearence dengan tiga syarat: Pertama, Mohammad Natsir mengeluarkan suatu statement bahwa ia mendukung Rencana Pembangunan Lima Tahun. Kedua, agar Sjafruddin Prawiranegara jangan mengeluarkan kecaman-kecaman terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Ketiga, agar Mohamad Roem mengeluarkan keterangan bahwa suasana yang tenang lebih baik bagii menyelesaikan clearence, bukan suasana yang tegang. Ketiga permintaan Alamsyah itu dipenuhi oleh Natsir, Sjafruddin, dan Roem.

Sesudah itu direncanakan sejumlah pertemuan di rumah Mayjen Alamsyah, di rumah Bung Hatta, dan akhirnya di rumah Presiden Soeharto.Yang direncanakan hadir dalam pertemuan-pertemuan itu Mayjen Alamsyah, Mayjen Yoga Soegama, Mayjen Ali Moertopo, Mr. Sutan M. Rasjid, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, dan Mohamad Roem. Pertemuan pertama dengan Alamsyah berhasil dilaksanakan, dan menimbulkan kesan baik. Sesudah itu, Mayjen Soedjono Hoemardani minta bertemu Roem. Ditemani Ir. Mohamad Sanusi, Roem bertandang ke rumah Soedjono Hoemardani. Kesan dari pertemuan itu, juga baik, dan memberikan harapan.

Dalam suasana yang penuh harapan itu, tiba-tiba dalam ceramah di hadapan para Pimpinan Wilayah Partai Muslimin seluruh Indonesia, Soedjono Hoemardani mengatakan bahwa yang clearbagi Pemerintah ialah bahwa Pemerintah tidak dapat mengakui Pimpinan Partai Muslimin yang dipilih oleh Muktamar di Malang.

Suasana dikalangan keluarga Bulan Bintang yang menurut Prawoto sudah clear (jernih), kembali menjadi clauded (berkabut). Harapan agar secara de facto keberadaan Partai Muslimin menjadi pengganti Partai Masyumi pupus. Harapan itu pun makin pupus ketika duet kepemimpinan Djarnawi-Lukman yang relatif dengan keluarga Bulan Bintang, pada 17 Oktober 1970 dikudeta oleh Jaelani Naro, Imran Kadir, dan kawan-kawan. Dan Soeharto kembali turun tangan “menyelamatkan” Partai Muslimin dengan mengangkat H.M.S. Mintaredja menjadi Ketua Umum Partai Muslimin.

Ketidaksukaan Orde Baru kepada tokoh-tokoh Masyumi tidak berhenti pada penihilan Partai Muslimin dari ruh dan semangat Masyumi seperti diuraikan di atas, tetapi juga berlanjut kepada pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 1971.

Dekat menjelang pelaksanaan Pemilu 1971, Ketua Umum Partai Muslimin Mintaredja, atas nama Presiden Soeharto, memberitahukan kepada pimpinan Partai Muslimin bahwa jika pemilihan umum jadi dilaksanakan, maka sejumlah orang dari Partai Muslimin tidak akan diperbolehkan untuk dipilih. Mereka itu tidak boleh dicalonkan. Mereka itu dikenakan “karantina politik.” Belakangan keterangan Mintaredja itu dikonfirmasi oleh Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Dalam suatu pidato, Amirmachmud mengatakan bahwa ada 2.500 orang dari bekas Partai Masyumi/PSI tidak boleh ikut serta dalam pemilihan umum.

Perdebatan segera marak. Akan tetapi perdebatan itu berhenti ketika Daftar Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat diumumkan pada 14 Maret 1971. Dalam daftar calon Partai Muslimin tidak terdapat nama-nama Mohammad Natsir,Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, Mr. Kasman Singodimedjo, Boerhanoeddin Harahap, dan lain-lain.

Sejak saat itu, tokoh-tokoh Masyumi resmi disingkirkan dari wilayah politik. “Mau tidak mau,” kata Anwar Harjono, “kita tidak bisa lagi berkiprah. Bukan tidak mau, tetapi memang peluangnya sudah ditutup.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here