Cermin Hati di Otakku

882

Aku kumpulkan pecahannya. Aku tentu sangat hafal dengan cermin itu. Cermin itu sering dipakai teman-temannya saat guru belum datang ke kelas. Bentuknya hati. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Bingkainya berwarna pink. Cantik. Tentu aku sangat bingung jika aku harus mengganti cermin itu dengan bentuk yang sama.

Mau dicari dimana? Pernah aku mengembalikan cerminnya itu dengan cermin biasa. Warnanya biru. Namun ia menolak. Ia hanya diam saja saat aku menyodorkan. Esoknya, aku berikan lagi cermin biasa berwarna pink. Bentuknya persegi. Wajahnya semakin cemberut.

“Aku tak bisa mencari cermin yang sama persis dengan milikmu itu. Aku juga tidak mungkin menyatukan kembali pecahannya. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkan kesalahanku.”

Tiga baris kalimat itu aku tulis dalam surat untuknya. Aku bungkus dengan amplop berwarna putih. Tertulis di atas amplopnya sebaris namaku; Lukman Hakim.

Ah, memang terkesan seperti anak putih biru. Tapi ini jalan terakhirku setelah pesan singkatku yang tak pernah dibalas, telepon dariku ia putus. Dan permintaan maafku yang selalu ia abaikan.

Dinda, teman dekatnya yang aku titipkan surat, menghampiriku di parkiran selepas sekolah. Dia membawa surat balasan dari Latifah, tiga hari berselang dari surat pemberianku. Aku sengaja membukanya di kamar.

Aku tarik secarik kertas putih dari amplopnya. Warna pink. Aku tersenyum geli. “Hey….Aku ini laki-laki!” Batinku memberontak.

Aku lihat isi kertas tersebut dan tekejut. Rasa heran menyergap isi kepalaku. Isi kertas itu ternyata hanya sebuah gambar. Ya, gambar cermin berbentuk hati yang telah aku pecahkan minggu lalu.

Aku sungguh tak mengerti apa maksud Latifah? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tak bisa mengganti cermin miliknya? Harus aku cari kemana lagi?

Apa dia sengaja ingin terus meneror pikiranku dengan gambar ini? Agar aku terus menerus dihantui rasa bersalah? Kalau saja ia tahu cermin itu telah menggerogoti benang-benang saraf di otakku. Cermin hati dan cermin hati yang selalu ada di kepalaku sampai saat ini. Mungkin sampai kapan pun aku tak tahu.

Kini, aku hanya mampu merebahkan tubuh lelahku di atas kasur, dan mataku mulai menitik.

 


Karya: Vina Agustina 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here