Bung Karno dan Bung Hatta Lebih Samurai dari Samurai

2210

Tangan Tuhan Kembali Bekerja

Sesudah proklamasi kemerdekaan, tangan Tuhan kembali bekerja.
Sebelum Jepang menyerah kalah, Amerika Serikat dan Inggeris telah membagi-bagi daerah kekuasaan sesuai dengan keadaan sebelum perang. Berdasarkan keadaan sebelum perang, Indonesia berada dalam kekuasaan Amerika. Akan tetapi, pada saat-saat terakhir, melalui Konferensi Postdam, 24 Juli 1945, kondisi itu diubah.

Panglima Pasukan Amerika Serikat, Jenderal Mc Arthur, yang diberi tugas untuk memberi pukulan terakhir kepada Jepang, tidak mau diganggu oleh urusan lain. Mc Arthur ingin berkonsentrasi penuh menghancurkan Jepang. Dengan alasan itu, Amerika Serikat menyerahkan penguasaan Indonesia kepada Inggris.

Oleh karena kekurangan pasukan untuk menduduki daerah yang luas, kesulitan alat transportasi, ditambah waktu pengalihan yang mendadak, tentara Inggeris baru tiba di Indonesia satu bulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika mendarat di Tanjung Priok pada 19 September 1945, Inggeris baru mampu membawa satu batalyon tentara. Sepuluh hari kemudian barulah tiga divisi tentara Sekutu mendarat di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Dalam tenggang waktu antara 17 Agustus sampai 19 September 1945, pemerintah Republik Indonesia relatif telah terkonsolidasi, sehingga telah memenuhi syarat-syarat hukum internasional sebagai sebuah negara, yaitu ada pemerintahan yang efektif memegang dan menjalankan pemerintahan, serta dipatuhi oleh rakyat.

Ketika tentara Sekutu mendarat di Jakarta, kota Jakarta sudah sempurna dikuasai oleh pemerintah kota di bawah kepemimpinan Walikota Mr. Suwirjo dan Ketua Komite Nasional Daerah (KND, sekarang DPRD) Jakarta. Semua pelayanan publik seperti listrik, air, trem kota, pembuangan sampah, telepon, dan lain-lain telah sepenuhnya bekerja di bawah Walikota Suwirjo.

Ketika pertama kali bertemu Suwirjo, Panglima Pasukan Inggeris di Jakarta, Brigadir Jenderal King, sudah otomatis menyebut Suwirjo “Mr. Major.” Bagi Roem, sapaan spontan itu tidak bisa dimaknai lain kecuali bahwa sang Panglima secara detail facto mengakui kekuasaan pemerintahan kota Jakarta.

Dengan sikap yang realistis itu, pada 1 September 1945, dalam pertemuan du Srilangka dengan pembesar Belanda, Dr. Charles Van der Plas, Panglima Tentara Sekutu di Asia Tenggara, Laksamana Lord Louise Mountbatten, mendesak Belanda supaya berunding dengan pemimpin Indonesia, Ir. Sukarno.

Para pemimpin Indonesia yang rata-rata masih berusia di bawah 50, bahkan di bawah 40 tahun, dengan cerdik memanfaatkan sikap realistis Panglima Mountbatten. Belanda yang dengan congkak menolak desakan Sekutu dan menganggap berunding dengan Sukarno “tidak terhormat dan sia-sia (ia even onwaardig ala onvruchtbaar); akhirnya justru berunding dengan orang yang diberi mandat oleh Presiden Sukarno, yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Maka, meskipun dengan berat hati, Belanda tidak mampu mengelak dari desakan dunia internasional: berunding dengan Indonesia hingga berujung pada penyerahan atau pengakuan kedaulatan Negara Indonesia (Serikat) pada 29 Desember 1949. Benar kata Ny. Oesthoek, rakyat Belanda memasuki tahun 1950 dengan rasa pesimis. Sebaliknya, rakyat Indonesia memasuki tahun 1950 dengan penuh optimisme.

Benar yang dikatakan M. Natsir, perundingan dengan Belanda bukanlah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan secara langsung, melainkan sebagai pembuka jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin. Dirgahayu Republik Indonesia! (**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here