Wibawa Ka’bah di Mata Pendosa

1558

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya)

“Uh…uh…astaghfirullah,” keluh jemaah haji yang tergeletak di dekat Gate 1 King Abdul Aziz Masjidil Haram pada Jum’at (31/8/2018) itu. Istri di sampingnya bengong, tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menolong suami yang tiba-tiba ambruk usai salat subuh, dan terputus-putus nafasnya, “eh, eh, eh”. Ia hanya mengusap dadanya dengan minyak kayu putih sambil membimbing sang suami membaca “Lailaha illallah” berulang-ulang.

Saya dan istri tak tega dan berlari membawakan zamzam. Kami ikut memijit jari dan kakinya yang diselimuti sajadah agar cepat sadar. Puluhan ayat ruqyah dari Alquran saya baca untuk jemaah asal Jakarta yang berprofesi sebagai pengacara itu. Doa ruqyah untuk kesembuhan yang pernah dibacakan Malaikat Jibril untuk Nabi SAW yang sakit juga saya tiupkan di sekujur badannya yang berpeluh dingin sebelum petugas kesehatan masjid membawanya lari dengan kursi roda.

Sur’ah, sur’ah (cepat, cepat!)” teriaknya.  “Ay huwa, ay huwa (ya, ya)” jawab saya dan istri dengan ngos-ngosan mengejar petugas sambil menyingsingkan celana dan memegang erat tas identitas.

Sebenarnya, setelah siaran dengan tema Terapi Salat Bahagia di Radio Elvictor Surabaya langsung dari lokasi 50 meter di depan Ka’bah pukul 03.00 pagi atau 07.00 WIB itu saya memutuskan kembali ke hotel untuk segera tidur. Sangat lelah. Tapi karena terpaksa, saat itu saya bisa berlari sampai di Rumah Sakit Gawat Darurat Ajyad di bawah Menara Zamzam.

Sambil menunggu pemeriksaan komplit di klinik darurat yang terletak di hotel termewah di Makkah selama dua jam itu, saya dan istri naik ke lantai tiga untuk membeli sarapan.

“Bagaimana Pak, bagaimana ini?” keluh istri yang sama sekali tidak bisa bahasa Arab atau Inggris setiap ditanya dokter itu dengan lemas. “Aneh Pak, suami saya sangat sehat, olahragawan, tidak punya riwayat penyakit apapun. Justru saya yang diharuskan memakai gelang oranye tanda risti (risiko tinggi) ini dijanjikan suami dibelikan kursi roda, jaga-jaga saya drop, seperti yang sering saya alami di Indonesia. Lha kok sekarang terbalik, saya yang mendorong kursi roda di sini,” katanya pelan sambil mengambil tissu dari tas kecil untuk mengusap air mata yang mulai membasahi ujung hidungnya.

Ketika pemeriksaan selesai, dokter berkebangsaan Bangladesh dan tim menjelaskan, “Aman. Silakan kembali ke hotel. Hanya karena tekanan batin saja,” katanya singkat sambil menangani puluhan pasien lainnya yang masing-masing di atas kursi roda atau ranjang dorong yang berderet di depannya.

“Apa stres karena perkara di pengadilan yang sedang ditanganinya, Pak?” tanya ibu dua anak itu kepada saya.

“Lho, justru ibu yang tahu kan?” jawab saya heran.

“Suami saya pendiam, tak pernah cerita apapun,” lanjutnya.

“Oh ya, Pak, akhir-akhir ini, setelah ayahnya meninggal, ia sering konflik dengan ibunya. Belum tuntas, meskipun ia telah mencium kaki ibunya,” katanya dan menambahkan bahwa suaminya merasa bersalah kepada almarhum ayahnya. Ia selalu melabrak sang ayah, membela ibunya setiap terjadi tengkar di antara mereka. Almarhum tetap diam ketika dipojokkan sang anak, dan hanya berkata singkat, “Suatu saat, engkau akan tahu sendiri mengapa konflik begini kerap meledak.”

Si suami yang sedang diambil darahnya itu, menurut sang istri, pernah menyendiri dan berbisik, “Kok begini ya mama saya? Aku sekarang baru mengerti apa yang dimaksud ayah sebelum meninggalnya itu.” Dengan kata lain, ia merasa amat bersalah kepada almarhum yang sekarang tak bisa dipeluk lagi untuk mendapat maafnya.

“Oh begitu ya bu?!” kata saya tanpa sedikitpun nasihat, karena saya tahu diri, saya bukan psikolog atau penceramah. Saya hanya menjadi pendengar yang baik sambil menahan air mata yang semakin sulit saya bendung. Tapi, sambil mendengarkan cerita lebih lanjut, saya membayangkan betapa subuh itu sang suami bersimpuh luluh sambil mengakui dosanya kepada sang ayah yang sudah tidur selamanya di pemakaman umum Jakarta Selatan. Juga sedang melapor di depan Ka’bah tentang ibunya yang semakin susah diajak berpikir logis dan realistis. Lebih-lebih sang ibu pernah kecewa dan berucap, “Kamu sekarang berubah jadi anak durhaka karena pengaruh istri pilihanmu itu,” kata sang istri menirukan sambil beristighfar.

Karena sudah jelas keputusan dokter, saya berpamitan untuk kembali ke hotel dengan fisik agak lunglai menuju bus salat lima waktu (salawat) yang disediakan gratis oleh Pemerintah RI. Benar-benar mengantuk, plus kaki dan paha terasa membesar tak bisa diajak kompromi. Saya butuh istirahat total.

Untungnya, sebelum masuk ke kamar, dokter kloter 61, dr. Luh Sukapraptini memberi saya dua bungkus susu penguat badan.

“Ini jatah semua jemaah haji Pak, khususnya yang kurang nafsu makan,” kata bu dokter yang murah senyum nan lincah. Dokter yang sedang menempuh pendidikan Spesialis Jiwa di Universitas Dipenogoro itu hanya sekali dua kali ke Masjidil Haram demi pelayanan maksimal untuk para jemaah di lantai 8 hotel Grand Al-Asheel Plaza. Inilah salah satu hotel berbintang tiga di Aziziah Janubiyah Sektor 3 tempat menginap jemaah haji Indonesia selama 32 hari.

“Seumur hidup, baru kali inil saya tinggal di satu hotel cukup mewah selama lebih dari sebulan. Kita sangat dimanjakan ya Pak!?” kata drg. Endang Kusdarjanti, M.Kes, dosen Vokasi Teknologi Kedokteran Gigi Unair dalam perjalanan menuju Thaif.

“Saya tanya resepsionis, tarif hotel itu Rp 1,5 juta per malam,” tambahnya dengan sumringah karena sudah menuntaskan semua kewajiban haji dengan sempurna. Masih belum puas ekspresi syukurnya, ia menghitung, “Katering kita itu seharga Rp 100.000 perhari lho Pak,” tambah ibu tiga anak yang semuanya sukses dalam ilmu kedokteran, teknik dan akutansi itu dalam perjalanan ziarah ke Masjid Abdullah bin Abbas, 65 km sebelah tenggara Makkah. Inilah ziarah terjauh dan paling mengesankan selama di Mekah.

Baiklah, sekarang saya suguhkan kisah sejenis. Juga tak kalah mengasyikkan. Seorang pria jangkung, manajer BUMN itu tampak tampan, ceria dan dermawan. Tapi aneh, pegolf, bapak dari dua  anak yang sama-sama kuliah di Eropa itu menjelang keberangkatan umrah sunnah sering lemas dan sesak nafas. Dokter perusahaan yang berkali-kali memeriksanya belum menemukan jenis penyakit suami yang terkenal mesra dengan istrinya itu, meskipun setumpuk hasil laboratorium telah diserahkannya.

“Weleh-weleh, njekethek (bahasa Surabaya-an, red.) ternyata sumber penyakitnya sederhana, ditemukan di atas karpet saya,” kata Ustadz pembimbing umrahnya. “Ustadz, saya gemetar. Saya ingin memberitahu istri saya di depan Ka’bah, bahwa saya mempunyai istri simpanan dan sekarang sudah dua anak darinya,” akunya setelah menyeruput secangkir kopi hangat di atas karpet bikinan Turki yang dibeli Ustadz bersarung itu di Makkah pada umrah sebelumnya.

“Subhanallah, mengapa tidak bilang sejak dulu Pak?,” kata Ustadz sambil berdiri untuk menyambut jemaah umrah lainnya yang datang berombongan. “Dilema berat Pak, antara bicara sejujurnya atau saya simpan dalam lakban hati ini sampai mati,” bisik suami yang bercabang hati itu di telinga Ustadz.

“Insya Allah, Insya Allah, semua kita atur di depan maqam Ibrahim saja nanti,” kata Ustadznya dengan ekspresi datar-datar saja di ruang tamu berkarpet tanpa kursi usai Isya’ itu.

Kisah jemaah haji “alumni” RS dan suami “pol” alias poligami itu saya hentikan di sini, karena saya tak tahan untuk menceritakan kisah serupa yang juga terkait dengan Ka’bah. Bahkan, saya jamin Anda akan “histeris” geleng-geleng kepala, karena tak akan terjangkau oleh akal yang waras.

Sebelum berangkat ke Makkah setahun yang lalu, seorang ibu mengirim WA, “Pak, saya telah memutuskan, Bapaklah yang paling saya percaya untuk menerima curahan rahasia yang telah saya simpan selama dua tahun.”

“Silakan jumpa di kampus saja,” jawab saya untuk wanita yang belum pernah saya kenal itu.

Di tengah pembicaraan, ia terdiam selama tiga menit, menarik nafas dan terdiam lagi. “Pak, saya poliandri. Suami yang asli tinggal di Surabaya dan yang kedua di luar Jawa,” akunya, lalu ia menyungkurkan wajahnya di atas meja menahan malu dan dosa.

“Darrrrr,” telinga saya rasanya robek tersambar petir. Belum hilang suara penyambar itu di telinga, petir kedua menggelegar, “Dan suami saya yang kedua adalah guru spiritual suami saya yang asli,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, sehingga saya memintanya untuk mengulanginya. Sang “guru” (maaf, saya beri tanda petik) itulah yang paling berjasa mengantarkan karir suami asli dengan moncer dalam sepuluh tahun terakhir. “Juga rujukan untuk solusi masalah keluarga,” tambahnya. Ajaib, suaminya tidak menaruh curiga sedikitpun kepadanya.

“Duh gusti, duh gusti,” heran saya dalam hati karena ini masalah paling unik menurut saya.

“Pak, mohon didoakan agar saya bisa pisah dengan suami aspal itu secepatnya sehingga saya berani menatap Ka’bah,” pinta wanita dengan pakaian serba bermerek dan bersepatu hitam berhak tinggi itu. Sambil membetulkan jilbab oranyenya, ia lalu meminta petunjuk, “Haruskah saya memberitahu suami asli setelah taubat ini”?

Kepada wanita yang bertaubat itu saya hanya berkata pendek, “Saya amat kagum pada semangat keimanan Bunda. Jujurlah di depan Ka’bah. Basahilah marmer putih pelataran Ka’bah dengan air mata istighfar. Allah yang Maha Mulia tidak mungkin mengecewakan Bunda yang bertekad menjadi wanita mulia.”

Terlalu panjang dan menarik kisah nyata itu dilanjutkan. Masih sederet kisah nyata sejenis lainnya yang terkait dengan wibawa Ka’bah. Tapi, saya putus sampai di sini, karena saya hanya ingin menggambarkan betapa besar wibawa Ka’bah, sehingga bisa menggedor dan menjebol benteng terkuat pertahanan rahasia seseorang. Beberapa kali saya tawaf, saya dengar komando doa berbahasa Arab dari ustadz pemandu, yang artinya, “Wahai Allah, inilah aku hamba-Mu, jauh-jauh datang memenuhi panggilan-Mu untuk mengakui segunung dosa yang tak muat bertumpuk sampai ke langit. Kini aku mengakui semuanya dan memohon Engkau mengampuninya. Anta rabbi wa’taraftu bidzanbi, dhalamtu nafsi faghfirli dzunubi jamiia.”

Jika Anda tidak merasakan sedikitpun getaran batin ketika menatap Ka’bah,  mungkin ada kabel saluran ke otak Anda yang terputus. Atau mungkin hati Anda sudah padat terjejali sekian kubik sampah sehingga tak lagi dapat menangkap sinyal Ka’bah. Atau hati Anda “low battery.”

Anda benar, Ka’bah  memang batu biasa seperti batu lainnya. Tapi, ia menjadi luar biasa dan bermagnit kemuliaan karena dimuliakan Allah. Anda juga makhluk biasa seperi makhluk lainnya, tapi akan menjadi luar biasa jika Allah memercikkan secercah cahaya kemuliaan untuk Anda. Antara lain melalui Ka’bah ketika Anda berbicara jujur kepada Allah dan kepada siapapun di depannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here