Waketum MUI Bahas Musik Sabyan, Ada Apa?

1274

Seni musik dalam Islam, lanjut Buya Zainut, sudah menemukan tempat dalam peradaban Islam sejak abad 9 masehi. Saat itu seorang filosof muslim memainkan suatu komposisi musik berbeda yang membuat peserta menangis, tertawa, dan tertidur pulas.

Ulama tersebut, lanjutnya, adalah Abu Nasir Al-Farabi yang terkenal dengan Al-Musiqa Al-Kabir atau The Great Book of Music yang menjadi rujukan utama musisi klasik di barat.

“Ilmu dasar musik yang tercantum dalam karya fenomenalnya tersebut menjadikan musik mampu membuat tenang, mengendalikan emosi dan terapi penyakit psikologis,” ujarnya.

Musik, sambungnya, merupakan bahasa jiwa yang diakui atau tidak dapat menembus relung hati manusia dan fungsinya menjadi media dakwah di era generasi milenial.

“Era sebelumnya, dakwah dilakukan di podium-podium, sekarang dakwah tidak perlu tatap muka, cukup melalui smartphone dan di upload ke sosial media,” lanjutnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Dakwah Habiburrahman El-Shirazy, mengatakan musik mempunyai efek positif dan ada juga negatif. Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam mendapat amanah dari dewan pimpinan MUI untuk menghidupkan kembali seni budaya Islam di Nusantara.

“Secara isi dan (dilihat dari sisi) agama, musik ada yang positif konstruktif ada juga yang destruktif. Yang perlu dipopulerkan kembali di masyarakat adalah musik yang konstruktif,” tutup Kang Abik.

Hadir dalam acara tersebut, Ketua Komisi Dakwah Kiai Cholil Nafis, musisi Senior, Dwiki Darmawan, beberapa musisi Islam seperti Snada, Justice Voice, dan pegiat musik dari berbagai daerah. (Vina)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here