Utrecht Affair, Amir Hamzah, dan Amanat Pak Natsir

967

Utrecht Affair

MESKIPUN beberapa hari kemudian usul yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku itu “diluruskan”, pendapat Darmono itu segera mengingatkan kita kepada suasana menjelang meletus pemberontakan berdarah Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia. Ketika itu serangan terhadap Islam — baik ajaran, organisasi, maupun penganutnya — meningkat.

Pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro diserang, al-Quran dibakar, dan sebagainya.

Di Universitas Brawijaya Cabang Jember, kelak menjadi Universitas Jember, pada 12 Mei 1964, Sekretaris Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember, Prof. Drs. Ernest Utrecht, S.H, mengeluarkan Surat Keputusan No. 2/64 yang menetapkan bahwa “Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang terlarang di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember.”

“HMI,” kata Utrecht, “terlibat dalam PRRI/Permesta, Andi Sele, DI/TII Kartosuwirjo, percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, agen CIA, dan subversif.” Tuduhan yang sungguh-sungguh tidak punya dasar.

Sejak datang di Jember pada 1962, melalui kuliah-kuliahnya di Fakultas Hukum Utrecht telah gencar mendiskreditkan ajaran Islam, pendidikan agama Islam, dan HMI.

Dalam salah satu kuliahnya, dosen keturunan Belanda yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan MPR Sementara RI itu mengatakan: “Dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, segala yang berbau agama harus disingkirkan. Saya sangat menyesal kuliah Pendidikan Agama diwajibkan di perguruan tinggi, karena menjadi alat propaganda saja.”

Tidak ada beda antara pendapat Darmono di tahun 2019 dengan pendapat Utrecht di awal tahun 1960-an.

Sejarah berulang. Aktornya yang berubah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here