Ustad Abdul Shomad dan Karakter Dai Pemersatu

1470

Seperti kita ketahui, kelompok kelompok Islam di Indonesia kerapkali sebelumnya dipecah belah melalui isu-isu fiqih Ibadah yang furu’iyyah. Kita tentu terbiasa mendengar tentang Tesis Clifford Gerts dalam bukunya The Religion of Java (1960), tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa.

Penelitian yang dia lakukan selama beberapa tahun tentu bukan karya yang sembarangan terlepas pro-kontra yang terjadi. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan, Santri, dan Priyayi. Trikotomi pandangan Gertz tentang masyarakat Islam di Indonesia khususnya Jawa menjadi pekerjaan rumah umat Islam semenjak zaman penjajahan, dimana antara struktur sosial tersebut selalu dibenturkan untuk tujuan melemahkan persatuan umat.

Tentunya dai sekaliber UAS yang berpendidikan strata dua mafhum benar tentang trikotomi ini yang menjadi basis pergesekan antar umat yang terus dipelihara, dengan kepiawaian beliau dalam merakit dan merekat persatuan umat dan tidak mempertajam perbedaan furu’iyyah tapi tetap tegas dalam urusan akidah menjadi kontribusi solutif untuk memperkuat persatuan umat.

Momentum 212 menjadikan umat sadar bahwa agenda persatuan umat menjadi skala prioritas untuk meraih kejayaan umat Islam yang selama ini dianggap hanya sebagai pendorong “mobil mogok”, yang ditinggal ketika mobil sudah jalan. Dukungan kaum abangan dan priyayi ke kaum santri dalam aksi 212, jika meminjam istilah Geertz, tentunya membuat tesis Geertz semakin tidak relevan dengan semakin kaburnya dikotomi antar struktur sosial tersebut.

Kaum Abangan yang dianggap tidak acuh terhadap agama mulai menyadari bahwa kehidupan yang tanpa agama akan menjadikan kehidupan ini “kering” sehingga banyak dari mereka mulai mencari-cari referensi yang menyejukkan untuk mengobati kegelisahaan hidup mereka.

Dengan bantuan media sosial maka proses pencarian referensi tersebut menemukan momentumnya apalagi jika referensi perdana yang terekspose adalah pesan-pesan dakwah seperti yang dibawakan UAS, maka kaum Abangan ini akan mendapatkan pesan dakwah yang substantif tapi tidak membuat umat bingung terutama bagi masyarakat awam yang kontras dengan adanya pihak yang sering membenturkan antar fiqih Ibadah yang berkembang di Indonesia. Maka ketika kaum abangan ini semakin banyak yang “hijrah” tentunya membutuhkan pembinaan yang berkonsekuensi terhadap kebutuhan dai dai segar sekaliber UAS.

Begitupula dengan kaum priyayi, akses/fasilitas politik dan ekonomi menjadikan kaum ini mulai sadar bahwa jabatan dan kekayaan adalah amanah yang Allah berikan untuk membela agama Allah Swt. Menghadirkan massa dalam jumlah besar pada momentum 212 telah membuka mata masyarakat Indonesia bahwa ternyata kaum priyayi dapat menjadi pendukung dakwah yang cukup signifikan, penyewaan beribu bus, pembelian ribuan tiket pesawat mengangkut massa aksi bela Islam dari provinsi yang jauh dari Jakarta dan logistik makanan yang melimpah ruah pada saat aksi menjadi bukti bagaimana kaum priyayi telah berubah.

Mereka sekarang menuju menjadi kelompok pendukung dakwah yang meminjam istilah Allahyarham Mohammad Natsir bahwa mereka ini juga dapat disebut sebagai dai dalam arti yang luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here