Tragedi Pembela Republik (Persamaan dan Perbedaan Mr. Assaat Datuk Muda dan Dr. Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo)

1055

Sesudah melalui perundingan dan pertempuran, akhirnya diselenggarakan  Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 23 Agustus-29 Oktober 1949. Delegasi Republik Indonesia ke KMB dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta.  Pokok-pokok terpenting dari KMB ialah bahwa pemerintah Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan dibentuk oleh negara Republik Indonesia dengan negara-negara bagian. KMB juga menghasilkan Undang-Undang Dasar Sementara yang kelak akan diganti dengan Undang-Undang Dasar yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat melalui pemilihan umum setahun kemudian. KMB  menunda masuknya Irian Barat (sekarang Papua –elha) sebagai bagian dari RIS.

Di bidang ekonomi-keuangan, ada beban yang harus dipikul oleh pemerintah RIS yang akan dibentuk, yaitu pembayaran utang-utang pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1949. Termasuk di dalamnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan militer Belanda memerangi Republik Indonesia! Dalam pidato pembukaan sidang Parlemen RIS, Presiden Sukarno menyebut utang Belanda yang diwariskan kepada RIS itu sebesar Rp 4.200 juta terdiri atas utang dalam negeri Rp 2.500 juta, dan utang kepada luar negeri Rp 1.700 juta.

Tidak syak lagi, hasil KMB memicu kontroversi. Haji A. Salim dan Mohammad Natsir, tidak mau masuk kabinet RIS. Kepada Hatta, Natsir berkata: “berat buat saya untuk jadi menteri penerangan lagi. Sebab menteri penerangan harus menjelaskan kepada rakyat, kenapa Irian Barat ditinggalkan. Saya minta mundur.” Dalam wawancara dengan Agus Basri, Natsir menjelaskan, baginya, juga bagi Salim, kalau soal Irian Barat tidak diputuskan, itu akan jadi soal yang akan mengacaukan dan menimbulkan kesulitan terus menerus.

Chairul Saleh, juga menentang keras hasil perundingan KMB. Begitu kedaulatan RIS diakui oleh Belanda, Chairul Saleh masuk hutan. Ia memimpin laskar rakyat dan berjuang melawan RIS. Tahun 1950, Chairul Saleh ditangkap oleh Kolonel Abdul Haris Nasution. Dia dipenjara, kemudian dibuang ke luar negeri.

Chairul Saleh kembali ke tanah air, persis saat Presiden Sukarno sedang menata pemerintahannya dengan prinsip Demokrasi Terpimpin. Seperti ditulis Julius Pour, kali ini dengan sadar Chairul Saleh menjadi pendukung gigih Bung Karno. Sebaliknya Bung Karno yang saat itu sedang memperluas basis dukungan politiknya, memerlukan dukungan massa pemuda yang dikuasai oleh Chairul Saleh. Maka, berturut-turut Chairul Saleh menjadi Menteri Negara Urusan Veteran pada Kabinet Djuanda (1957), Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I, II, dan III (1959-1963),  Wakil Perdana Menteri III pada Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora (1963-1966). Jabatan sebagai menteri dirangkapnya dengan jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965).

Jejak  kuat Chairul Saleh yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat ialah tekadnya membela prinsip negara kepulauan. Konsepsi Chairul Saleh mengenai Wawasan Nusantara di mana batas territorial secara sefihak ditentukan 12 mil laut (agar semua laut yang ada di antara pulau-pulau jadi wilayah territorial) langsung diberlakukan pemerintah Indonesia pada 13 Desember 1957. Pemikiran Chairul Saleh baru bisa disahkan pada 1982 dalam konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika. “Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chairul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini,” kata Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja mengenang keteladanan Chairul Saleh.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here