Sukarno-Natsir, Bertengkar dan Bersahabat

1196

Natsir: Hubungan Tetap Dekat

Dalam sebuah wawancara dengan yang dimuat di majalah Editor, 20 Februari 1993, Natsir menuturkan proses perkenalannya dengan Soekarno saat dirinya masih pelajar AMS dan Bung Karno sudah seorang Insinyur lulusan THS Bandung. Natsir mengaku, dirinya dan teman-teman sebayanya sangat mengagumi Bung Karno yang dikenal sebagai pemimpin pergerakan. Cara Sukarno berpidato mampu membangkitkan semangat perjuangan.

“Isi pidato Bung Karno, saya sudah hafal. Caranya berpidato enak sekali. Dia memiliki keahlian dalam membangkitkan semangat perjuangan,” ujar Natsir seraya menambahkan: “Nama Soekarno saat itu sudah menjadi jaminan. Soal isi pidatonya, ‘sebodo’.”
Akan tetapi, lambat laun antara Natsir dan kawan-kawan yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) dengan Sukarno ada perbedaan pendapat yang sangat tajam. Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Sukarno menganggap cukup dengan nasionalisme saja, karena kalau membawa-bawa agama akan bercerai-berai.
Berbeda dengan Sukarno, Natsir berpendapat untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat.

Meskipun demikian, “kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”kenang Natsir. Waktu Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjara di Sukamiskin, “yang pertama kali menjenguk Bung Karno di penjara, kelompok kami ini. Kelompok yang tidak sepaham dengan gagasan Bung Karno,” tutur Natsir, “Bukan orang-orang PNI yang pertama kali menjenguk Bung Karno,” tambah Natsir. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, kelompok Natsir pula yang mengirimi Bung Karno buku-buku bacaan.

Dari tempat pembuangannya, Bung Karno intens berkorespondensi dengan pemimpin Persis, Ustadz A. Hassan. Surat menyurat itu kemudian diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul “Surat-surat Islam dari Endeh” (Bandung, Persatuan Islam, 1936). Dengan judul yang sama, surat menyurat itu dimuat dalam buku utama Ir. Sukarno, “Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama” (Jakarta, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964).

 

Konfrontasi Dalam Toleransi

Yang menarik, tulisan-tulisan Bung Karno yang kritis terhadap Islam, justru dimuat di media massa Islam seperti Adil, dan Pandji Islam. “Kami tetap menghormati Bung Karno sebagai pemimpin pergerakan kemerdekaan,” ujar Natsir.

Pada suatu kesempatan, Natsir mengingatkan penulis bahwa di dalam berpolemik kita harus kemukakan pikiran kita secara tegas, dan menyoroti pikiran yang kita hadapi secara tajam, tapi tidak boleh kasar. Kasar itu personal, dan menyebabkan sakit hati. “Polemik tidak boleh menimbulkan sakit hati,” kata Natsir sambil meminta penulis membaca ulang polemik Natsir dengan Sukarno yang tajam, tegas, tetapi jauh dari ungkapan kasar, berlebihan, dan menyakitkan.

Pada saat pemilu serentak nanti, alangkah indahnya jika cara berpolemik Natsir dengan Sukarno diteladani oleh seluruh politisi dan para pendukungnya. Perbedaan pandangan politik memang tidak mungkin menghindari konfrontasi. Yang kita perlukan ialah konfrontasi dalam suasana toleran, sehingga perbenturan gagasan akan melahirkan kesepakatan bersama. Toleransi tanpa konfrontasi, bukanlah toleransi, melainkan sekadar mengelak dari persoalan.(**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here