Suerrr.. Akang Belum Ikhlas, Nyai!

1188

Menerobos malam yang indah, Mang Endut melarikan sepeda motornya dengan santai. Melintasi Cilala yang sepi tak membuatnya takut atau ngeri dipergoki kuntilanak, gondoruwo, atau jin ‘blegedek ireng’. Bahkan bagi Mang Endut, melintasi Cilala membuat aktifitasnya makin bertambah. Matanya wara-wiri memerhatikan titik-titik tempat sejumlah pasang manusia tengah memadu kasih. Bak kampret dari gua Batman, mata Mang Endut menelanjangi malam.

Beberapa depa setelah melintasi Cilala, Mang Endut memoncongkan mulutnya untuk menghirup udara sekuat tenaga. Mang Endut bukan sejenis beruk yang gemar memoncongkan mulut, tapi ia sedang memamerkan hobinya menikmati udara nan segar.

Tiga jam sebelumnya, Telaga Kahuripan basah diguyur hujan khas Bogor. Bau tanah basah masih menyengat hidung siapapun yang melintasi jalan. Bagi Mang Endut, mengendus bau tanah basah selepas hujan melebihi nikmatnya mengendus asap bakaran sate kambing Abah Warjan. Mang Endut akan mengisi penuh seluruh rongga di dadanya dengan udara segar bau tanah basah.

***

“Sudah makan, Pak?” dengan senyuman manisnya Nyi Larung membuka pembicaraan seraya menyorongkan gelas berisi air putih.

“Alhamdulillah, sudah, Nyi,” jawab Mang Engdut yang dengan sigap langsung menenggak habis isi gelas bergambar ‘Tom and Jerry’ itu.

“Sudah? Di mana? Lauknya apa? Sama siapa?” Nyi Larung bertanya penuh semangat. Tiba-tiba saja di hatinya muncul segunduk perasaan tidak senang atas jawaban suaminya, Mang Endut.

“Di kantor sama teman-teman. Tadi kita ramai-ramai makan di warung tenda dekat kantor. Enak lho, Nyi. Pecel lelenya gurih dan sambalnya mantaaap pisan!” kisah Mang Endut dengan bangga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here