Suerrr.. Akang Belum Ikhlas, Nyai! (Bagian 3)

1083

Kehadiran Abah Astagina benar-benar menjadi pelita dalam keluarga Mang Endut dan Nyi Larung. Setidaknya, keributan yang terjadi dapat padam dan berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Kini, di hadapan Abah Astagina tampak sebuah pertunjukan dagelan yang diperankan Mang Endut dan Nyi Larung yang saling berbantahan sambil sesekali tertawa.

Denting jam berulang sepuluh kali, pertanda tepat pukul sepuluh malam. Aura kebahagiaan yang terpancar di ruangan lagi-lagi memberikan imbas pada jam dinding. Kini, suara dentingannya tak lagi parau, melainkan nyaring pertanda turut bahagia pada suasana hati sang majikan.

Alhamdulillah. Tidak terasa, ternyata sudah pukul sepuluh malam. Nyai, Endut, Abah pamit pulang,” Abah Astagina berdiri sambil merapikan bajunya.

“Abah, ini kan sudah larut. Sebaiknya Abah menginap saja di sini. Kamar depan sudah saya persiapkan untuk Abah,” Nyi Larung menawarkan.

“Terima kasih, Nyai. Mungkin lain kali saja, ya,”

“Tidak, Abah. Nyai berharap sekali Abah menginap malam ini. Bukankah di rumah ada Nyi Laras dan Dawala? Biar nanti saya menelepon ke rumah. Menginap saja, Abah,” Nyi Larung merengek seperti anak kecil meminta balon kepada ayahnya.

“Baiklah. Kalau begitu, Abah langsung tidur saja. Sudah mengantuk.”

“Sudah shalat Isya, Abah?” tanya Mang Endut.

“Alhamdulillah sudah.”

Abah Astagina langsung menuju kamar yang ditunjukkan Nyi Larung. Setelah pintu kamar tertutup, suasana ruang keluarga itu kembali hening.

“Nyai, kenapa Abah diminta menginap di sini?” tanya Mang Endut.

“Lho, memang kenapa, Pak?”

“Nyai, apa kamu lupa kalau malam ini malam Jumat?”

“Ada apa dengan malam Jumat, Pak?”

“Iih, Nyai. Kata orang, malam ini kan sunah rosul….”

“Oh, begitu.. apa hubungannya dengan Abah?”

“Ya.., tidak nyaman saja.”

“Pak, ikhlaskan saja kehadiran Abah di sini. Mudah-mudahan amal kebaikan kita mendapat ridha Allah. Belajar ikhlas, ya, Pak,” begitu lembut Nyi Larung membelai wajah suaminya.

Ikhlas? Kata-kata itu masih mengganjal dalam hati Mang Endut. Untuk situasi yang lain, mungkin kata-kata itu masih bisa dipahami. Tapi, dalam keadaan seperti ini? Mang Endut masih harus berpikir ulang untuk menggarisbawahi kata ikhlas!

“Argghh, Nyai. Suerrr.. untuk yang ini, Akang belum ikhlas,” gumam Mang Endut lirih.

Ah, Mang Endut… lebay!

 

SELESAI


Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here