Sang Penjelajah Muslim, Ibnu Battuta

1254

Qadi Delhi

Pada 12 September 1333, setelah perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia, dan Asia Tengah, Ibn Battuta akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi barat India, yang dikuasai oleh Muhammad Shah II, penguasa Islam di Delhi.

Ibnu Battuta kemudian diangkat sebagai Qadi di Delhi dengan gaji 12.000 dirham perbulan, termasuk fasilitas tempat tinggal dan bonus 12.000 dinar. Tentu saja hal ini membuat Ibnu Battuta menjadi orang kaya mendadak.Dua tahun berselang, kekacauan mulai pecah di banyak wilayah.

Tujuh tahun kemudian, pemberontakan terjadi di mana-mana. Ibnu Battuta melihat kesultanan Delhi mulai rapuh, sehingga ia meminta izin untuk berhaji ke Makkah. Namun, sultan justru mengirim Ibnu Battuta memimpin 15 orang perwakilan diplomatik ke Cina, beserta berbagai hadiah untuk diserahkan kepada dinasti Yuan, Toghon Timur. Ibnu Battuta tidak melepas kesempatan berharga ini untuk mengunjungi negeri yang belum pernah ia kunjungi.

Persinggahan di Samudera Pasai

Dalam perjalanan menuju Cina, Ibnu Battuta sempat singgah di Samudera Pasai. Dalam catatannya, ia menyebut Samudera Pasai sebagai “negeri yang hijau”.

Saat itu, Samudera Pasai di bawah kekuasaan Sultan Malik al-Zahir, salah satu dari tujuh raja yang ia kagumi. Sultan Malik al-Zahir menyambut hangat kehadiran Ibnu Battuta. Ibnu Battuta terkesan melihat keagungan Samudera Pasai.

Ia pun menulis, “Samudera Pasai menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.”

Dalam catatan selanjutnya, Ibnu Battuta menyebut Sultan Mahmud Malik al-Zahir adalah pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at dengan berjalan kaki.

Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota melihat keadaan rakyatnya. Ia memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama.

Penjelajahan tersebut dikisahkan kembali Ibnu Battuta yang kemudian ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan).

Ibnu Battuta wafat pada tahun 1369 M, atau 12 tahun setelah ia menulis Rihla. Ibnu Battuta, sang penjelajah dunia telah meninggalkan warisan berharga melalui catatan perjalanannya, yang di kemudian hari menginspirasi banyak orang menjelajahi dunia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here