Sang Pejalan di Pinggir

1646

Lenon

Beberapa tahun kemudian, saat saya menjadi reporter pemula, saya melakukan liputan di Paramadina di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Inilah markas Cak Nur beserta teman-temannya. Di situ Cak Nur menyebut nama Agus Lenon. Saya bertanya-tanya siapa dia. Namanya unik. Menggunakan nama John Lennon, penyanyi The Beatles.

Saya membayangkan kacamatanya bulat seperti Lennon. Lalu dijelaskan bahwa Agus Lenon adalah nama panggilan Agus Edi Santoso, penyunting buku Cak Nur. Ternyata benar, dia dipanggil Agus Lenon karena gemar berkacamata bulat seperti Lennon. Dia sendiri penggemar John Lennon.

‘Perjumpaan’ berikutnya adalah pada 1997, 10 tahun setelah buku Cak Nur terbit. Kali ini pun masih terkait buku, yaitu momen peluncuran buku. Ya, kali ini Agus menyunting surat-menyurat Cak Nur dengan Mohamad Roem. Judulnya tegas: Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Tempatnya di Gedung RNI di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Malam hari. Buku ini diterbitkan Djambatan. Roem adalah tokoh senior Masyumi. Surat menyurat itu terjadi pada 1983 ketika Cak Nur sedang studi doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Bersibalas surat itu bermula dari wawancara M Amien Rais dengan Majalah Panji Masyarakat, yang kemudian ditanggapi Roem.

Di era media jejaring saat ini, saya mengalami perjumpaan secara virtual dengan Agus melalui grup whatsapp Kahmi-Pro, sebuah rup diskusi yang digawangi M Ichsan Loulembah. Atribut Pro oleh Ichan diniatkan sebagai aktivis HMI yang terjun di dunia profesional. Karena itu diskusinya diharapkan lebih cair dan lebih berbobot. Ichan menginisiasi grup diskusi ini sejak era mailing list, blackberry, dan kini whatsapp.

Saya menikmati diskusi di grup ini yang kadang liar, sengit, tapi kadang cuma candaan saja. Agus sering bercanda, khususnya dengan Oong alias Fathorrahman Fadli dan juga dengan M Thoriq. Oong dan Agus sama-sama Madura. Agus dari Panarukan, Situbondo. Sedangkan Agus dan Thoriq karena keduanya sesama demonstran saat mahasiswa dan sama-sama kuliah di Yogyakarta. Agus kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, tapi kemudian malang melintang di Jakarta ketika ditarik menjadi pengurus PB HMI.

Beberapa kali saya mengalami pertemuan fisik dengan Agus, terutama saat acara yang menyangkut aktivis HMI. Namun tak ada persentuhan khusus. Boleh dibilang tak saling kenal, kecuali saya mengenalnya dari buku-buku yang ia sunting. Oya, saya juga menyukai buku-buku yang diterbitkan Teplok Press, penerbitan milik Agus.

Penerbit ini menerbitkan buku-buku kiri, khususnya Tan Malaka – seorang komunis yang kemudian murtad dan mendirikan gerakan kiri yang ia namakan Murba. Teplok juga menerbitkan buku-buku kiri progresif lainnya. Saya menyukai desain cover buku Teplok yang menggunakan teknik cukil kayu yg berwarna. Teknik ini memang banyak disukai kalangan marjinal. Memberi kesan keras dan melawan, juga kuat dan tegas. Aktivis 1980-an umumnya memang kiri.

Saat itu memang era ideologi. Era Orde Baru adalah era berkuasanya kapitalisme. Karena gerakan mahasiswa sejatinya adalah gerakan perlawanan, maka kiri adalah ideologi tandingannya. Kiri di sini tak selalu berarti komunis, tapi marxisme dengan segala variannya. Bahkan mahasiswa yang berwarna Islam terpuaskan dengan gaya marxis Ali Syariati, cendekiawan Iran. Buku-buku Syariati juga diterbitkan Mizan. Tentu saja gerakan perlawanan memang muncul juga dari varian Islam karena Islam dipinggirkan oleh Orde Baru. Jika tak terpengaruh kiri, maka yang Islam terpengaruh Ikhwanul Muslimin – sebuah gerakan perlawanan dari Mesir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here