Sang Mutiara Itu (7 – terakhir)

651

Saya tentunya tidak pada posisi menjelaskan secara rinci sunnah-sunnah Rasul pada aspek hidup sosial. Tapi sekedar mengingatkan agar Umat ini sadar, jangan lupa atau pura-pura lupa jika sunnah-sunnah itu ada pada aspek sosial dan publik hidup manusia.

Rasulullah SAW adalah tajir (businessman). Dan dalam menjalankan bsinisnya beliau ada ketauladanan yang agung. Tentu bukan pada teknis pelaksanaan bisnis beliau. Tapi lebih kepada nilai-nilai agung (value) yang beliau demonstrasikan dalam menjalankan bisnisnya.

Salah satunya sebagai misal adalah nilai kejujuran dalam bisnis. Kejujuran ini merupakan aktualisasi dari ajaran Islam yang mengecam “ketidak jujuran” atau lebih dikenal dengan prilaku “muthoffif” (tidak jujur dalam menimbang).

Kejujuran dalam bisnis ini diperlihatkan di saat beliau menjadi menejer bisnis calon isterinya ketika itu, Khadijah RA. Walhasil dengan kejujuran itu beliau selalu meraih keutungan (profit) yang luar biasa. Dan ini pulalah yang menjadikan Khadijah ketika itu diam-diam jatuh hati dengan Rasulullah SAW.

Selanjutnya beliau kemudian memotivasi Umatnya untuk jujur dalam bisnis. Bahkan dalam hadits “tajirun shaduuq” (pebisnis yang jujur) dijanjikan syurga. Juga menjadi salah satu golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di Padang Mahsyar kelak.

Rasulullah SAW itu adalah Panglima militer. Beliau adalah Panglima tertinggi (commander in-chief). Dan karenanya beliau menjadi tauladan yang agung dalam kepemimpinan militer.

Salah satu yang terpenting pada aspek ini adalah bagaimana bahkan ketika dalam keadaan genting sekalipun beliau tidak pernah kehilangan “sense of compassion” (rasa kasih sayang) yang memang menjadi bagian integral dari dirinya sebagai “rahmatan lil-alamin).

Beliau misalnya tekankan kepada semua prajuritnya: “jangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua, bahkan siapa saja yang tida memerangimu (non combatans)”.

Lebih jauh beliau selalu mengingatkan: “jangan mengganggu orang-orang yang beribadah, termasuk merusak rumah ibadah. Jangan membunuh hewan, jangan membabat pohon-pohon, dan jangan meracuni sumur”.

Intinya beliau sebagai Panglima perang selalu mengedepankan “moralitas” dan nilai kasih sayang bahkan kepada musuh. Perang bagi beliau bukan bertujuan merusak dan membunuh. Sebaliknya perang terpaksa dilakukan untuk membendung pembunuhan dan kerusakan yang lebih besar.

Beliau adalah diplomat ulung. Berbagai peristiwa dalam sejarah yang memerlukan skill diplomasi yang tinggi beliau buktikan. Diantaranya pada perjanjian pasca perang Badar dan beberapa perjanjian selanjutnya.

Mungkin yang paling kita ingat adalah bagaimana beliau melakukan negosiasi ketika orang-orang kafir Quraysh melarang beliau masuk Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Bagi banyak kalangan hal itu adalah pelecehan. Dan karenanya izzah (kemuliaan) menjadi taruhan.

Instink diplomasi beliau tumbuh. Tentunya secara teologis memang dengan inspirasi langit. Beliau justeru ingin memakai momentum itu untuk melakukan dialog dan perjanjian dengan musuh-musuhnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here