Saat Plesiran di Lombok, Novelis Amerika ini Temukan Islam yang Sejati

8859

Dia adalah satu-satunya titik kontak manusia saya di dunia, dan pengakuannya tentang keberadaan saya membuat saya merasa sedikit kurang kesepian. Suatu kali, saya melirik ke arahnya, dan saya melihat bahwa dia masih menjagaku, tangannya menaungi matanya. Pada malam kedelapan saya di pulau itu, saya sakit diare parah.

Bisa jadi karena keracunan makanan, atau air minum yang terkontaminasi — atau mungkin sebuah sinyal bahwa saya telah mencapai dasar kesedihanku dan akhirnya semua hal buruk keluar dari diriku. Saya gemetaran dan demam, muntah dan ketakutan. Mengerikan sekali terisolasi dan sakit. Ditambah generator tidak bekerja malam itu; tidak ada cahaya sedikit pun.

“Saya ingat merangkak menuju kamar mandi dalam kegelapan untuk kesepuluh kalinya dan bertanya-tanya, Mengapa saya datang ke sini, begitu jauh dari siapa pun yang peduli tentang saya?” gumam Elizabeth dalam hati. 

Keesokan harinya saya tetap di tempat tidur, gemetaran, berkeringat, dan dehidrasi. Saya memiliki pemikiran yang mengerikan bahwa saya akan mati sendirian di pulau ini, dan bahwa ibu saya tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada saya. Malam itu, setelah matahari terbenam, ada ketukan di pintu.

Dengan kaki gemetar, saya berjalan dan membukanya. Itu adalah wanita yang saya ceritakan, istri nelayan. Dia tidak berbicara bahasa Inggris, dan saya tidak berbicara bahasa Indonesia, tetapi jelas bahwa dia memeriksa saya dan dia khawatir. Ketika dia melihat kondisi saya, dia terlihat lebih khawatir.

Dia mengacungkan jari, seperti berisyarat ‘Tunggu’. Kurang dari satu jam kemudian, dia kembali. Dia membawakan saya sepiring nasi, beberapa ramuan cincang, dan sebotol air bersih. Dia datang ke gubuk dan duduk di sisi tempat tidurku sementara aku memakan setiap gigitan makanan penyembuh ini. Saya mulai menangis.

Dia merangkul saya, dan saya melipat tubuh saya seolah-olah dia adalah ibu saya sendiri — meskipun usia kami hampir sama. Dia tinggal bersama saya selama sekitar satu jam, sampai saya tenang. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun; dia hanya duduk denganku, memelukku, seolah berkata: Aku melihatmu. Tenanglah, ada aku yang tinggal bersamamu dan menjagamu. 

Hanya setelah dia pergi barulah saya menyadari semuanya. Orang asing ini datang untuk menemukan saya karena dia memperhatikan bahwa saya telah melewatkan pagi dan jalan-jalan sore saya, dan dia dapat dengan jelas melihat: Ada yang tidak beres dengan wanita asing itu. Dan karena ini adalah pulau-nya — wilayahnya — dan karena dia tahu aku sendirian, dia menghampiriku untuk merawatku.

Jarak yang saya tempuh mungkin sangat luas (10.000 mil dari rumah), tetapi jarak yang ia tempuh lebih luas (sepanjang jalan melintasi pulau, untuk mengetuk pintu orang asing) dan kebaikan tindakannya membuat hati saya terpesona dan keheranan. Dan saat itulah saya menyadari bahwa seluruh dorongan hati saya sudah salah.

Saya membutuhkan kebaikan. Saya membutuhkan koneksi. Orang asing ini telah melihat kebutuhan saya, dan dia menawarkan hubungan. Dengan melakukan itu, dia tidak hanya menyembuhkan saya tetapi juga mengajarkan saya pelajaran ini: Jangan menyendiri, dan jangan bangga. Lihat orang lain, dan biarkan diri Anda terlihat. Bantu orang lain, dan biarkan diri Anda terbantu. Lakukan kontak, dan terbuka untuk kebaikan.

Ketika saya pulang ke Amerika, saya tidak begitu bangga. Saya mencari kontak manusia. Saya menemukan orang untuk diajak bicara tentang masalah saya. Saya berbagi kerentanan dan kesedihan saya, dan mendapatkan teman baru dan membangun komunitas baru sebagai hasilnya. Saya mengulurkan tangan untuk cinta dan bantuan — dan pada akhirnya itulah yang membuat saya baik-baik saja.

Saya baru menceritakan kisah ini karena terjadi hampir satu tahun pada hari setelah tragedi 11 September 2001. Saya adalah seorang warga New York yang kotanya baru saja diserang. Banyak orang telah memperingatkan saya agar tidak pergi ke Indonesia karena mereka berkata bahwa saya — seorang wanita Amerika, bepergian sendirian — tidak akan aman di sana.

Tapi bagaimanapun saya pergi ke Indonesia, tepat di jantung komunitas Islam kecil, dan di sana saya bertemu dengan salah satu manusia paling baik yang pernah saya kenal. Dia menyelimutiku dengan aman ketika aku merasa sangat takut, dan dia membantuku untuk sembuh.

Dia juga menjadi contoh bagi saya tentang bagaimana kita harus saling menjaga satu sama lain di dunia — panutan yang telah saya coba jalani sejak saat itu. Saya menceritakan kisah ini karena saya tidak akan pernah melupakan wajah wanita itu, dan saya sangat berharap dia tidak akan pernah melupakan wajah saya.

Setiap kali saya mendengar orang-orang menjadi panik tentang dunia Islam, saya memikirkan kebaikan hati wanita itu. Adalah harapan saya bahwa saya akan selalu menjadi representasi pribadinya tentang Barat — dan bahwa saya menunjukkan kemanusiaannya sama seperti ia menunjukkannya kepada saya. (Vin)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here