Rumah Tahfizh Al-Quran: Gerakan Arus Bawah yang Menasional

1032

Oleh: Muhammad Bisyri (Guru di Tangerang)

Dalam konteks pendidikan nasional di Indonesia, Rumah Tahfizh termasuk pendidikan keagamaan Islam non-formal.

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 91/2020, Rumah Tahfizh adalah satuan pendidikan keagamaan Islam non-formal yang mengkhususkan untuk menghafal, mengamalkan, dan membudayakan nilai-nilainya dalam sikap hidup sehari-hari yang berbasis hunian, lingkungan, dan komunitas.

Yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam (PMA 13/2014).

Rumah Tahfizh, nyatanya, telah lahir, tumbuh, dan berkembang, bahkan sebelum dua aturan tersebut hadir. Lebih “heroik” dari itu, entitas pendidikan bernama pondok pesantren bahkan lahir dan berkembang sebelum Republik ini lahir.

Rumah Tahfizh lahir dari inisiatif, ide kreatif, dan dari cita-cita mulia sekelompok masyarakat yang terpanggil untuk berpartisipasi dalam pembangunan manusia melalui jalan pendidikan Al-Quran di berbagai pelosok negeri. Sudah menjadi tugas dan wewenang negara, untuuk selanjutnya mengafirmasi, merekognisi, dan memfasilitasi sesuai dengan aturan yang ada.

Rumah Tahfizh sekilas memiliki riwayat kesejarahan yang menyerupai pesantren. Di dalam sejarahnya, awal kehadiran pesantren disebut sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, saat semua individu yang memiliki keturunan bangsawan dididik dalam lembaga pendidikan kraton (Abdurrahman Wahid, 1999:111).

Dalam kadar tertentu, pun demikian dengan Rumah Tahfizh. Ia menjadi semacam episentrum baru bagi semua lapisan masyarakat yang memiliki minat kuat untuk belajar Al-Quran (menghafal, memahami, dan mengamalkannya), namun memiliki kendala jika harus di Pesantren Tahfizh Al-Quran. Rumah Tahfizh hadir menampung semua lapisan masyarakat dari beragam latar belakang sosial, ekonomi, bahkan dari beragam usia.

Dalam buku ‘’Rumah Tahfizh: Sejarah, Gerakan, dan Dinamika Membumikan Tahfizh Al-Quran dari Yogyakarta’’ karya Ustadz Tarmizi As Shidiq, dengan fasih diuraikan sejarah gerakan dan dinamika perjuangan membumikan tahfizh Al-Quran melalui Rumah Tahfizh. Buku ini mulanya adalah karya akademik penulisnya, yang diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Jakarta, guna menyelesaikan pendidikan jenjang pascasarjana.

Disebutkan oleh penulis, bahwa gerakan Rumah Tahfizh yang kini dikenal luas oleh masyarakat, diinisiasi pertama kali oleh Ustadz Yusuf Mansur pada medio 2003. Setelah melalui perjuangan yang tidak enteng, pada tahun 2018, Rumah Tahfizh Daarul Qur’an telah mencapai 1.027 dengan jumlah santri setidaknya 50.178 santri. Rumah Tahfizh Daarul Qur’an yang berjumlah 1.027, tersebar di seluruh penjuru pelosok negeri, bahkan di beberapa kota di luar negara. Ia setiap saat mendharma-baktikan kehadirannya untuk memberikan penerangan agama (Islam) di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Ia menjadi sentra-sentra pendidikan Al-Quran yang siap sedia menyapa dan disapa oleh siapapun dan kapanpun.

Dari sekian banyak jumlah Rumah Tahfizh Daarul Qur’an yang ada, Ustadz Tarmizi melakukan zoom in terhadap 14 Rumah Tahfizh yang ada di Kota Pendidikan Yogyakarta. Yang menarik, penulis mengajukan beberapa dalil sehingga memilih lokus penelitiannya di Yogyakarta. Dengan berlandas sumber-sumber otoritatif, penulis menandaskan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan pluralitas sistem kepercayaan sangat tinggi (terdapat 79 sistem kepercayaan). Pada sisi lain, pada 2014 Yogyakarta dinobatkan sebagai “Kota Paling Islami” oleh lembaga Maarif Institute. Di sinilah relevansinya, kenapa Rumah Tahfizh Yogyakarta menjadi pilihan fokus studi Ustad Tarmizi. Gampang-nya, predikat kota paling Islami, patut diduga kuat tak dapat dilepaskan dari budaya mempelajari Al-Quran. Dan Rumah Tahfizh, adalah piranti strategis untuk hal itu.

Lazimnya karya akdemik, buku ini diawali dengan pendahuluan, dilanjutkan dengan kajian teori terkait beberapa terminologi yang dipakai. Diuraikan juga perihal kesejarahan Al-Quran (nuzul, tadwin, jam’u), juga hal-hal terkait kegiatan belajar dan menghafal Al-Quran. Kajian yang fokus pada gerakan dan dinamika perjuangan tahfizh Al-Quran di Yogyakarta, berada pada bagian ketiga buku ini. Pada bagian ini, dipaparkan dan dianalisis perihal PPPA Daarul Qur’an (LAZNAS) yang memiliki fokus garapan pada pemberdayaan masyarakat berbasis tahfizh Al-Quran. Selain itu, diuraikan dengan fasih terkait histori dan dinamika dakwah tahfizh Al-Quran yang dilakukan oleh Rumah Tahfizh Yogyakarta. Selain juga diurai secara detil mengenai kurikulum, manajemen pengelolaan, seklaigus manajemen pengembangan kelembagaan. Selanjutnya diakhiri dengan penutup berupa konklusi dan rekomendasi penulis.

Salah satu wasilah dari kekuatan dakwah Al-Quran melalui Rumah Tahfizh di Yogyakarta, sebagaimana disebut penulis, adalah pelibatan tokoh setempat bernama Joddy Brotosuseno beserta isteri yang secara antusias dan tekun, melakukan kerja-kerja taktis-strategis dalam menguatkan dan mengembangkan Rumah Tahfizh di Yogyakarta. Misalnya, sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pengusaha, ia disebut oleh penulis sebagai pihak yang dapat menangkap dan memahami gagasan Ustadz Yusuf Mansur terkait konsep Rumah Tahfizh.

Dari Joddy dengan dukungan tim PPPA Daarul Qur’an inilah, konsep Rumah Tahfizh yang awalnya masih terasa abstrak, menjadi lebih riil dengan berhasil disusunnya bangunan kurikulum Rumah Tahfizh yang memadai, juga ditopang dengan manajemen tata-kelola Rumah Tahfizh yang modern.

Kerja-kerja dalam dakwah Al-Quran, sebagaimana dakwah melalui jalan Rumah Tahfizh, adalah kerja-kerja profetik yang dilakukan dalam kesunyian dan tak bertabur bunga. Kerja-kerja yang tidak lekas mendapatkan “keuntungan”. Ia selalu menuntut keikhlasan, ketulusan, kebersahajaan, ketekunan, keuletan, kesungguhan, kedisiplinan, dan terus demikian.

Di dalam nuansa serupa itu, sekelompok orang merelakan dirinya memilih jalan itu. Geliat yang dilakukan Daarul Qur’an dengan support masyarakat, melalui gerakan Rumah Tahfizh-nya, adalah semacam arus deras, bahkan sangat deras, yang pada akhirnya bermuara pada terwujudnya masyarakat yang hafizh, ‘alim bil-Qur’an wa ‘amila bih (hafal dan paham Al-Quran, serta mengamalkannya). Sudah menjadi hukum alam, arus selalu harus berangkat dari bawah, walau kelak ia akan memuncak.

Pembaca yang budiman..

Membaca buku karya Ustadz Tarmizi ini, kita bukan hanya diajak menelusuri jejak-jejak perjuangan dakwah Al-Quran yang dilakoni sekelompok orang. Bahkan kita juga akan semakin yakin, bahwa memilih jalan dakwah Al-Quran, adalah pilihan terbaik untuk kita, keluarga kita, anak keturunan kita, dan semuanya. Kebaikannya akan meluber ke mana saja, ke siapa saja, di dunia hingga akhirat. Insya Allah.

Dipastikan tidak akan cukup jika tulisan singkat ini harus merangkum keseluruhan isi buku tersebut. Karenanya, membacanya secara langsung adalah pilihan yang paling tepat.

Selamat membaca!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here