Refleksi 71 Tahun Mosi Integral, Mohammad Natsir Adalah Bapak Pendiri Republik

1078

Oleh: Syamsul Rizal Hasdy (PP Parmusi)

Berbicara mengenai hubungan Islam dan negara, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa Islam sangat erat hubungannya dengan negara sehingga Islam juga mewajibkan pendirian negara yang berazazkan Islam, namun bernegara dan pemerintahan, bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan tuhan semata yaitu seperti Abul A’la Al-Maududi, Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, A. Hasjmy, Al-Mubarak dan Mohammad Natsir sendiri.

Al-Maududi (1975) berpandangan, sumber hukum yang ada dalam masyarakat muslim bersumber dari kehendak Tuhan, bukan manusia. Pedoman dari hukum tersebut yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang kemudian dinamakan syariah. Menurut Al Maududi, masyarakat muslim terikat untuk mengikuti syariah karena adanya kontrak yang terbentuk.

Natsir sendiri memberikan pandangannya mengenai suatu negara berkaitan dengan pengertiannya, syarat dari suatu negara dan kedudukan dari negara itu. Menurut Natsir, negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution menurut Natsir adalah suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.

Natsir mengambil Islam sebagai dasar negara dikarenakan ia berpendapat bahwa Islam memiliki ajaran yang lengkap meliputi seluruh aspek kehidupan baik Individu maupun masyarakat. Menurutnya, Islam memiliki ajaran-ajaran tentang ketatanegaraan dan sosial masyarakat yang lengkap dan sempurna, bukan hanya bagi umat Islam namun juga bagi agama lain karena Islam bersifat universal “rahmatan lil alamin”.

BACA JUGA: 71 Tahun Mosi Integral: Mengenang Perjuangan M. Natsir

Bagi Natsir, Islam memiliki peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk orang-orang Islam. Peraturan-peraturan hukum tersebut akan berjalan dengan adanya negara karena negara sebagai alat untuk berjalannya hukum-hukum tersebut secara tertib. Sehingga dalam hal ini Natsir memandang bahwa Islam dan negara bukanlah suatu hal yang terpisahkan.

Lahirnya pemikiran Natsir mengenai negara tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Pemikiran tersebut lahir dari suatu proses berpikir yang panjang yang dipengaruhi oleh banyak hal. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemikiran Natsir mengenai negara yaitu pengaruh lingkungan masa kecil Natsir, (kondisional dan sosio-kultural) di Minangkabau, pengaruh tokoh-tokoh nasional (Ahmad Hassan, H.Agus Salim, Syeikh Ahmad Syurkati dan H.O.S Tjokroaminoto) secara lansung,pengaruh dari tokoh internasional secara tidak lansung melalui bacaan (Hassan Al-Banna, Amir Syakib Arselan, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh), pengaruh organisasi dan partai politik tempat Natsir bernaung Jong Islamieten Bond (JIB), Persatuan Islam (Persis), dan partai politik Masyumi, serta pengaruh dari kondisi perpolitikan saat itu.

Ketika Indonesia berbentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tanggal 27 Desember 1949, Mohammad Natsir yang menjabat sebagai anggota DPR-RIS sekaligus Ketua Fraksi Masyumi, menyampaikan pidato di hadapan Sidang Parlemen RIS pada 3 April 1950 yang kemudian dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”. Melalui mosi inilah Indonesia Kembali bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mosi Integral Natsir merupakan jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI yang ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tidak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik yang saat ini dikenal dengan NKRI.

BACA JUGA: M. Natsir di Antara Moral dan Politik

Setelah kembalinya Indonesia kepada bentuk negara kesatuan, padatanggal 20 Agustus 1950 presiden Soekarno menggunakan hak prerogatifnya dengan menunjuk Mohammad Natsir sebagai Perdana Menteri. Kabinet bentukan Natsir tanpa mengikutkan PNI, dan dalam kabinet ini diikutsertakan lima orang tokoh non partai serta jabatan menteri yang diberikan pada orang yang ahli dalam bidangnya sehingga kabinet ini disebut dengan Zaken Kabinet. Pada 21 Maret 1950 Mohammad Natsir memberikan mandatnya pada presiden dan tugasnya sebagai Perdana Menteri selesai pada tanggal 27 April 1950.

Setelah itu Mohammad Natsir aktif di Konstituante setelah terpilih pada pemilu pertama di Indonesia tahun 1955. Sebenarnya Natsir juga terpilih menjadi anggota DPR daerah pemilihan Jawa Barat, namun karena ada ketentuan tidak boleh merangkap di dua lembaga itu, maka Natsir lebih memilih untuk duduk di Konstituante karena melalui lembaga inilah Natsir bisa mengeluarkan gagasannya terkait Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Walaupun memiliki pandangan yang berseberangan dengan Ir. Soekarno maupun Soeharto serta menjadi tahanan politik pada masa tersebut, Natsir tetap memberikan kontribusi bagi Indonesia. Pada masa Soeharto, Natsir memiliki peranan penting dalam memperbaiki hubungan antara Indonesia dengan Malaysia yang rusak pada masa Orde Lama. Dalam hal ini Natsir memliki hubungan yang baik dengan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahaman. Melalui Natsir, utusan Indonesia akhirnya diterima oleh Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menolak utusan dari Indonesia.

BACA JUGA: Bung Karno di Mata Natsir

Natsir juga berperan dalam membantu pemerintah Orde Baru dalam mencairkan kredit luar negeri salah satunya adalah Jepang. Natsir meyakinkan pemerintah dan pengusaha Jepang untuk memberikan bantuan kredit kepada pemerintah RI dan menanamkan investasinya di Indonesia. Peranan Natsir ini diakui oleh Fukuda (Mantan PM dan Menkeu Jepang). Banyak lagi kontibusi yang tetap diberikan Natsir untuk Indonesia, walaupun ia menjadi tahanan politik pada masa tersebut.

Ketika karir politiknya mati, Natsir menfokuskan dirinya dibidang dakwah dengan mendirikanDewan Dakwah Islam Indonesia pada 26 Februari 1967 setelah halal bi halal keluarga besar Bulan Bintang di Mesjid Al-Muwarrah Tanah Abang. Tujuan dari didirikan DDII ini adalah untuk meningkatkan dan menggiatkan mutu dakwah Islamiyah IndonesiaMelalui DDII inilah Natsir pernah menduduki jabatan di berbagai organisasi Islam di dunia seperti World Muslim Congress, Rabitah Alam Islamy (1969), Anggota Dewan Mesjid Sedunia dan lain-lain.

BACA JUGA: Natsir adalah Sejarah Besar, Teladan Ideal

Selain memiliki kiprah politik nasional, Mohammad Natsir juga dikenal dengan kiprahnya di dunia internasional serta karya-karyanya. Di kancah internasional, pada tahun 1956, Natsir bersama Syekh Abul A’la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hassanan-Nawadi (Lucknow) memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Natsir juga dikenal dengan dukungannya terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika. Natsir juga sering diminta nasehat dan pandangannya oleh tokoh-tokoh PLO (Palestine Liberation Organisation), mujahidin Afganisthan, Moro, Bosnia, dan juga tokoh politik non muslim dari Jepang dan Thailand.

Jasa M. Natsir terhadap bangsa ini sungguh besar. M. Natsir sangat kuat ke-Islamannya dan juga tidak diragukan ke-Indonesiaannya. Bagi Natsir, NKRI adalah rumah besar bersama seluruh rakyat Indonesia. Rumah besar umat Islam. Umat Islam tidak harus mendirikan negara yang berbasis agama. Yang terpenting adalah nilai-nilai Islam, dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Natsir juga merupakan pemimpin yang berintegritas tinggi.

Baginya kejujuran adalah segala-galanya. Tanpa kejujuran bangsa ini akan hancur. Karena sangat terkenal dengan kejujurannya bahkan Soekarno pernah mengatakan, walaupun mereka sering berbeda pendapat dan berpolemik. Tapi soal kejujuran Natsir lah yang memilikinya. Di saat orang lain berbelok, Natsir memilih jalan lurus. Di saat yang lain, memilih jalan yang salah, Natsir konsisten di jalan kebenaran. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here