Dzikrullah: Makna dan Implementasinya

Dzikrullah: Makna dan Implementasinya

 

Oleh: Irwan Hernanda (Pengajian ALIF)

Istilah Dzikrullah sering diterjemahkan dengan "mengingat Allah atau menyebut-Nya". Kalimat "mengingat Allah" memberi kesan bahwa Allah akan hadir ketika kita mengingat-Nya, dan tidak hadir ketika kita lupa.

"Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku". (QS. Al Baqarah, 2:152).

Padahal, Allah selalu hadir dalam kehidupan manusia dalam kondisi apa pun dia dan mengatur segala kebutuhan manusia dari awal hingga akhir hidupnya.

”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah, 2:115).

”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (QS. Qaf, 50:16).

Sebab itu makna dzikrullah ada baiknya pahami dengan ‘keterhubungan hamba dengan sang Khalik’. Kondisi keterhubungan inilah yang diperintahkan untuk selalu dijaga agae manusia mudah mengadukan permasalahan hidup dan memohon pertolongan kepada-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al Ahzab, 33:41-42).

Bila dzikrullah diterjemahkan literal seperti di atas maka maknanya akan terbatas pada ranah kognitif dan verbalisme sementara dzikrullah dalam al Qur’an bermakna sangat luas, sebagaimana para ulama menjelaskannya ke dalam tiga jenis:

1). Dzikir Lisan

Menyebut nama-nama Allah, membaca doa, dan melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an secara rutin. Dzikir ini ada yang sifatnya terikat dengan waktu, tempat atau amalan tertentu lainnya. Ada juga yang sifatnya mutlak, tidak terikat dengan waktu dan tempat, misalnya mengucapkan tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir di mana saja dan kapan saja.

2). Dzikir Qalbi

Merenungkan kebesaran Allah, memahami makna dari ayat-ayat-Nya, dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Orang yang sudah mampu melakukan dzikir seperti ini hatinya akan merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah Ta’ala. Ia selalu merasakan kehadiran Allah Ta’ala kapan dan di mana saja.

3). Dzikir Perbuatan/Jiwa Raga

Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap tindakan yang sesuai dengan syariat Islam dianggap sebagai bentuk dzikir, karena mencerminkan ketaatan dan pengingatan kepada Allah.

Ketiga jenis dzikir di atas bila dikaitkan dengan Teori Taksonomi Bloom, dimana tujuan pendidikan mengarah pada tiga ranah, yaitu ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik;Maka dampak dari dzikir pun bisa diketahui dan dirasakan oleh pelakunya atau orang lain, sebagai berikut:

1). Ranah Kognitif. Idealnya orang berdzikir lisan tidak hanya tahu dan mengerti apa yang diucapkan tapi juga mengetahui kenapa ia mengucapkan dzikir-dzikir itu. Ucapan dan bacaannya faseh, tidak asal-asalan. Dari sisi Kognitif saja banyak di antara kaum muslimin belum mengerti apa yang diucapkan dan mengapa ia mengucapkannya. Mereka menyebut Tuhannya dengan al Maalik, al Qudus, al Jabar dan seterusnya tapi tak mengerti apa artinya. Kalau begini jadinya, apakah mereka bisa disebut sedang berdzikir?

2). Ranah Afektif. Pertanyaan buat para pedzikir apakah dzikir-dzikirnya telah meng-up grade cintanya kepada Allah lebih besar daripada kepada dirinya dan orang lain? Apakah dzikir pagi dan petangnya memotivasinya untuk lebih berkreasi dan inovasi? Apakah hafalan doa-doa sehari dan surat-surat pendeknya telah mengubah hidupnya lebih energik dan dinamis serta produktif? Bila semua dzikri-dzikirnya belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka pantaskah mereka disebut sedang berdzikir?

3). Ranah Psikomotorik. Individu-individu yang rajin berdzikir - baik dzikir lisan, dzikir qolbi maupun dzikir perbuatan - maka antara ucapan dan tindakan akan menunjukan keselarasan. Perilakunya mencerminkan apa yang diucapkannya, sehingga menjadi suri teladan di tengah masyarakat.

Sulit menentukan apakah seseorang benar-benar sedang berdzikir atau sekadar ‘mengisi waktu luang’ jika dzikirnya tidak memberikan dampak. Sesungguhnya dzikrullah memberikan keuntungan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah:

"Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (QS. Al-Anfal, 8:45).

Namun, jika seseorang merasa telah banyak berdzikir tetapi tidak merasakan dampak keuntungannya, mungkin harus introspeksi diri, mengevaluasi tata cara (adab) berdzikir, dan memberikan pemahaman benar lagi lurus terhadap dzikir-dzikir yang dipanjatkan.

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahim (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal...” (HR. Ahmad)

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi).

Allah memberikan indikator kepada kita semua untuk menilai sejauh mana kualitas dzikir kita:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah, dan kepada Tuhan mereka bertawakal." (QS. Al-Anfal, 8:2)

Kesimpulan

Dzikrullah bukan sekadar ucapan lisan, tetapi mencakup kesadaran hati dan implementasi dalam perbuatan sehari-hari. Dengan memahami dan mengamalkan ketiga jenis dzikir ini secara seimbang, seorang muslim dapat mencapai kedekatan dengan Allah dan meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.

Wallahu a'lam bish-shawab, semoga bermanfaat!

 



Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group