Ayah, Ruh dan Pahlawan Keluarga

Ayah, Ruh dan Pahlawan Keluarga

Muslim Obsession – Jika ibu dikatakan sebagai al-madrasatul uulaa (madrasah pertama) di dalam keluarga, maka ayah adalah mudiiruhaa (kepala sekolahnya). Ibu dituntut menjadi sosok pertama yang mengajarkan segala kebaikan di samping seringkali menjadi tempat curahan hati seorang anak.

Sementara ayah merupakan sandaran bagi anak ketika tak ada seorangpun yang mendekatinya. Kegigihan ayah adalah kehidupan anak dan perjuangan ayah adalah kesuksesan anak. Ayah adalah pahlawan dan ruh keluarga, perhiasan mata, cahaya kehidupan, dan penerang rumah.

Keberadaannya adalah ketenangan, melihatnya adalah kebahagiaan, dan kehilangannya tidak tergantikan. Ayah mengorbankan dirinya untuk anak, meskipun ayah tidak memberikan semua yang diinginkan anak, tapi ayah memberikan semua yang dimilikinya untuk anak.

Menukil nu.or.id, dikatakan bahwa Nabi Muhammad memberikan apresiasi tinggi terhadap peran dan jasa ayah dalam kehidupan anak. Nabi mengilustrasikan bahwa sosok ayah merupakan pintu masuk anak ke dalam surga yang terbaik.

Jika ingin masuk surga, maka seorang anak harus berbakti kepada ayah. Hadits ini dikutip imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, juz 2, halaman 167 sebagai berikut:

 الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، فَحَافِظْ عَلَى ذَلِكَ إِنْ شِئْتَ، أَوْ دَعْ

“Ayah adalah pintu surga yang ada di pertengahan. Jagalah hal itu (ayah) jika engkau mau (surga) atau tinggalkan hal itu (ayah) jika engkau tidak mau (surga).”

Hadits ini senada dengan hadits lain yang menggambarkan peran seorang ibu. Nabi memberikan apresiasi terhadap peran dan jasa ibu dengan ilustrasi bahwa surga ada di bawah kaki ibu. Jika seorang anak berbakti kepada ibu, maka ia akan masuk surga.

Hadits ini dikutip imam al-Nasa’i dalam kitab Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 11 sebagai berikut:

فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

“Sesungguhnya surga berada di bawah kaki ibu.”

Imam ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath, juz 6, halaman 339 meriwayatkan kisah di masa Nabi yang diceritakan sahabat Jabir bin ‘Abdillah.

Suatu hari, seorang laki-laki mendatangi Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, ayahku telah mengambil hartaku.” Nabi berkata kepadanya: “Pulanglah dan datanglah kepadaku lagi bersama ayahmu!”

Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi dan berkata: “Allah menyampaikan salam dan pesan ‘Jika orang tua itu datang, tanyakanlah sesuatu yang ia katakan di dalam dirinya yang tidak didengar bahkan oleh telinganya sendiri!’”

Ketika orang tua itu datang, Nabi berkata kepadanya: “Apakah anakmu selalu mengeluh kepadamu ketika kamu mengambil hartanya?” Orang tua itu menjawab: “Tanyakan kepadanya wahai Rasulullah, apakah aku memberikan nafkah kepada salah satu bibinya atau diriku sendiri?!”

Nabi berkata: “Lupakan hal itu. Sekarang, ceritakan padaku sesuatu yang kamu katakan di dalam dirimu yang tidak didengar bahkan oleh telingamu sendiri!”

Orang tua itu menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah. Allah senantiasa menambahkan keyakinanku. Aku mengatakan sesuatu yang di dalam diriku yang tidak didengar bahkan oleh telingaku sendiri.”

Nabi berkata: “Katakanlah dan aku akan mendengarkan dengan baik.”

Orang tua itu kemudian menjawab dengan kata-kata dalam bentuk syair:

“Aku mengasuhmu ketika lahir dan memeliharamu ketia dewasa - Engkau menikmati semua jerih payahku yang aku berikan kepadamu.

Jika engkau sakit di malam hari, aku tidak bisa tidur - aku mengkhawatirkan sakitmu sepanjang malam. Jiwaku selalu mengkhawatirkan kematianmu - padahal ia tahu bahwa kematian pasti tiba. Seakan-akan bukan engkau yang sakit, tetapi aku yang sedang sakit - sebab kondisimu, sehingga air mataku menangis.

Ketika engkau telah dewasa dan menggapai kesuksesan - yang dahulu aku impikan tentang dirimu. Engkau membalas jasaku dengan keras dan kata-kata kasar - seakan-akan engkau yang memberiku segala kebaikan dan berjasa padaku. Jika engkau tidak mempedulikan hakku untuk kau baktikan hidupmu - maka perlakukanlah aku dengan baik sebagai seorang tetanggamu.”

Sahabat Jabir bin ‘Abdillah berkata, Nabi langsung memegang kerah baju laki-laki tadi dan berkata:

 أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

“Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu!”

Hadits ini menggambarkan bahwa ayah selalu memendam rasa di dalam diri atas segala yang dilakukan untuk membesarkan anaknya. Hadits ini juga menjelaskan pengorbanan ayah dalam mengantarkan anak ke gerbang kesuksesan, sehingga tidak dapat dibalas dengan cara apapun, kecuali berbakti kepadanya dan menaati semua perintahnya.

Di sisi lain, menyakiti orang tua dengan perbuatan yang dianggap dosa kecil jika dilakukan kepada orang lain, maka dianggap dosa besar jika dilakukan kepada orang tua. Hal ini ditegaskan Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam, juz 2, halaman 630:

الْعُقُوقُ أَنْ يُؤْذِيَ الْوَلَدُ أَحَدَ أَبَوَيْهِ بِمَا لَوْ فَعَلَهُ مَعَ غَيْرِ أَبَوَيْهِ كَانَ مُحَرَّمًا مِنْ جُمْلَةِ الصَّغَائِرِ فَيَكُونُ فِي حَقِّ الْأَبَوَيْنِ كَبِيرَةً

“Durhaka kepada orang tua adalah menyakiti orang tua dengan perbuatan yang dianggap dosa kecil jika dilakukan kepada orang lain, tapi dianggap dosa besar (durhaka) jika dilakukan kepada orang tua.”

Salah satu contoh bakti anak kepada ayah adalah Nabi Isma’il yang siap melaksanakan permintaan ayahnya, Nabi Ibrahim untuk disembelih berdasarkan perintah Allah.

Nabi Ibrahim sendiri adalah seorang anak yang telah membaktikan dirinya untuk ayahnya, Azar, meskipun ayahnya tidak beriman. Hal ini menunjukkan bahwa barang siapa yang berbakti kepada ayahnya, maka akan mendapatkan bakti terbaik dari anaknya kelak karena hidup adalah siklus yang selalu berputar dari waktu ke waktu.



Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group