Ratusan Lembaga dan Aktivis Ikuti Rapat Umum Bela Al-Aqsha

545

Jakarta, Muslim Obsession – Lebih dari 280 peserta dari berbagai lembaga dan aktivis kemanusiaan mengikuti Rapat Umum Bela Al-Aqsha dengan tema “Al-Aqsha is Our Mandate”, Ahad (1/11/2020).

Berbagai lembaga kemanusiaan itu di antaranya Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP), Adara Relief International, SMART171, Aman Palestin, Qudwah Indonesia, dan lainnya.

Rapat umum yang dilaksanakan secara virtual itu digelar Asia Pacific Community for Palestine (ASPAC) untuk menyamakan barisan lembaga kepalestinaan di Indonesia.

Ketua ASPAC, Oke Setiadi Afendi, berharap rapat umum tersebut dapat menjadi penyatu pemikiran untuk membebaskan Al-Aqsa.

“Setiap tahun terdapat muktamar internasional untuk Palestina. Ada dari lebih 70 negara dari berbagai madzhab. Satu rombongan terbesar adalah dari Asia Tenggara. Insya Allah tahun ini walaupun dalam kondisi wabah, akan tetap mengadakan muktamar. Semoga bisa menyatukan hati kita untuk Al-Aqsa,” ujarnya saat memberikan sambutan.

Pemahaman Sejarah Palestina dan Indonesia

Salah satu public figure yang hadir pada rapat umum tersebut adalah Peggy Melati Sukma atau yang saat ini akrab dipanggil Teh Khadija. Ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa perlu memberikan pemahaman kepada generasi muda untuk ikut membela Palestina.

“Kita memang tidak ada di garis depan. Estafet ini bisa dengan sejarah, pemetaan persoalan di Palestina, persaingan, dan kepentingan internasional,” ungkap Ketua Khadijatee Foundation ini.

Tak hanya mempelajari, Teh Khadija ingin agar lembaga kemanusiaan yang mengikuti rapat tersebut untuk memberikan ilmu tentang Palestina kepada anak muda.

Hal senada dikatakan oleh Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Yeni Mulati yang menekankan literasi masih minim di masyarakat. Tak banyak yang tahu sejarah Isra Mi’raj, negeri para nabi, dan kota suci bagi tiga agama samawi.

Indonesia sendiri memiliki sejarah hubungan dengan Palestina. Akmal Sjafril, pendiri Indonesia Tanpa JIL (ITJ) mengungkapkan bahwa sejak dahulu bapak bangsa Indonesia sudah memperjuangkan Palestina.

Dua tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda Muslim mengadakan aksi pembelaan Palestina. Pada 1938 terjadi Kongres Al-Islam di Surabaya mengajukan kepada Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) untuk melaksakan qunut nazilah serentak pada hari yang sama dan disepakati oleh organisasi masyarakat Islam saat itu.

“Tahun 1939 Jaksa Agung Hindia Belanda sampai perlu melarang secara khusus kepada Nahdatul Ulama yang menggerakan aksi solidaritas Palestina. Artinya begitu kuat dorongan sehingga harus dilarang,” ungkap Akmal yang kini sedang menyelesaikan studi doktoral Ilmu Sejarah.

Tahun 1947 Radio RRI Yogya menentang pembagian Palestina. Indonesia saat itu sedang menghadapi agresi militer Belanda. Yogya dibombardir waktu itu. Namun, masih sempat bersikap membela Palestina.

Sebelum Indonesia merdeka, pada 1944, Mufti Besar Palestina, Amin Al Husaini mendorong negara-negara di Timur Tengah untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

“Banyak episode sejarah yang terlupakan dan lupa dibahas. Ini yang perlu kita angkat bersama-sama,” lanjutnya.

Minimnya Akses Wartawan

Ketua Forum Jurnalis Muslim (Forjim), Dudy S. Takdir menyatakan minimnya akses langsung informasi dari Palestina. Bahkan media di Indonesia, termasuk media arus utama mengutip dari media Israel. Hanya sedikit akses dari media Palestina.

“Isu mengenai Palestina punya tempat khusus di masyarakat Indonesia. Buktinya, media Islam punya rubrik khusus Palestina. Umat selalu menanti update terkini kondisi di Palestina,” ungkap Dudy.

Dudy berharap agar lembaga yang hadir dalam rapat tersebut dapat memberikan akses kepada wartawan. Ia berharap agar Forjim bisa mendapat informasi langsung dari sumbernya.

Ahmad Syahidin, salah satu peserta yang juga penerjemah Infopal menyatakan masalah Palestina berupa kemanusiaan, penjajahan, dan Al-Aqsa. Menurutnya belum ada hal konkret yang membahas isu penjajahan Palestina sampai ke level pemerintah.

“Banyak pemimpin negara kita yang kurang paham. Ini tugas jurnalis Muslim. Pemerintah perlu melek masalah isu Palestina karena mereka punya tanggung jawab masalah penjajahan,” katanya.

Rapat Umum Bela Al-Aqsha itu menghasilkan sejumlah poin. Pertama, sebelum Indonesia merdeka sudah ada pembelaan terhadap Palestina. Kedua, sejarah Palestina-Indonesia belum banyak dibahas dan kalau bisa dijadikan kurikulum nasional.

Ketiga, akses kepada wartawan untuk mendapatkan narasumber langsung dari Palestina. Keempat, memperbanyak literasi dan konten kepalestinaan. (**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here