Oleh: Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
Relasi antar umat beragama bukan hal asing bagi Nabi. Banyak contoh sejarah yang dilakukan Nabi sangat menakjubkan. Ia banyak ditolong dan menolong agama lain.
Ketika Nabi masih remaja melakukan misi perdagangan ke Syria (Syam). Di sana ia bertemu seorang pendeta yang melihat tanda-tanda ajaib di bahu Muhammad. Sang pendeta memintanya agar lebih baik segera kembali karena anak ini kelak akan menjadi orang besar, menjadi Nabi.
Peristiwa lain ketika Nabi baru saja mendapatkan wahyu pertama di Gua Hira, ia dipertemukan dengan seorang pendeta kenalan istrinya, dan sang pendeta menerjemahkan pengalaman Muhammad sebagai awal dari misi kenabiannya. Nabi Muhammad sejak awal kenabiannya sudah akrab dengan pendeta.
Ia juga sering memberi perlindungan terhadap agama-agama lain, termasuk melindungi para tokoh-tokohnya. Konsep Darus Salam untuk non-muslim kooperatif dan Darul Harbi untuk non-muslim tidak kooperatif, merupakan konsep yang amat strategis yang tidak pernah diterapkan oleh etnik sebelumnya.
Orang-orang yang beragama lain yang tidak memusuhi Nabi harus diberi perlindungan. Hanya orang-orang non-muslim dan munafikun yang selalu mengangkat senjata terhadap Nabi yang dihadapi dengan ketegasan. Bahkan Nabi ketika menjalankan misi perang sekalipun, tidak membolehkan membunuh anak-anak, orang-orang tua (‘ajuz), perempuan, tidak boleh merusak dan membakar rumah ibadah, tidak boleh mencabut atau mematahkan ranting pepohonan, serta menghancurkan benda-benda budaya lawan. Kalau lawan sudah angkat tangan maka tidak boleh lagi diperangi.
Menarik untuk kita kaji, Nabi pernah mengangkat panglima seorang anak muda yang bernama Usamah, relatif masih di bawah 20 tahun. Suatu ketika ia menjebak seorang musuh sehingga terpojok lalu ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia dilaporkan kepada Nabi oleh sahabat tertentu mengenai kejadian ini.
Nabi memanggil Usamah dengan marah dan bertanya kenapa ia membunuh orang yang sudah bersyahadat? Dijawab oleh Usamah dengan mengatakan ia bersyahadat karena terpaksa, hanya ingin cari selamat. Nabi menjawab, sebagaimana dikutip di dalam kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik: Nahnu nahkumu bi aldhawahir wa Allahu yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah menentukan apa yang tersembunyi di dalam hati). Hadits ini amat penting diaktualkan maknanya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia tercinta.
Amat banyak pelajaran penting dari Nabi soal ini. Pelajaran penting yang diperoleh dari hadis ini ialah bila seseorang sudah bersyahadat dengan benar, tidak perlu lagi dihakimi dengan kekerasan karena secara formal orang itu sudah muslim. Tugas berikutnya ialah bagaimana mengislamkan mereka secara utuh.
Banyak lagi hadits yang dapat ditemukan yang menggambarkan bagaimana Nabi penuh toleransi terhadap mukallaf. Bahkan termasuk memberikan zakat sekalipun ia kaya. Orang mukallaf ialah orang yang sudah bersyahadat. Apapun isi hatinya, itu urusan Allah. Kita jangan mengurus sesuatu yang menjadi hak prerogatif-Nya, nanti akan merepotkan diri sendiri.
Nabi juga banyak menyelesaikan konflik antara petani dan pemilik atau pengendali pengairan, menyelesaikan masalah pascapanen, menyelesaikan persoalan okulasi penanaman korma, menyelesaikan masalah kewarisan, harta pungutan, perkawinan antarumat beragama, dan persoalan pertetanggaan antarkabilah.
Bahkan konflik negara-negara besar sesama nonmuslim juga meminta jasa Nabi untuk menyelesaikannya. Jadi Nabi Muhammad saw betul-betul sebagai Nabi yang layak disebut sebagai Bapak Perdamaian, Bapak HAM, Bapak Kemanusiaan, dan Bapak Pembebasan. (**)