Prestisius, Ini Asal-Usul Gelar “Haji” dan “Hajjah”

1551

Kedua, secara kultural, narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Cerita-cerita ini terus bersambung hingga kini sehingga menjadi semacam genre tersendiri sebagai memoir.

“Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi,” ucapnya.

Ketiga, dari perspektif kolonial, penyematan gelar haji juga punya ceritanya tersendiri. Dulu, karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji, dengan berbagai cara.

Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

“Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” tandasnya.

Oman, yang juga sebagai Pengendali Teknis Ibadah Haji Kementerian Agama 2019, menambahkan bahwa tradisi menyematkan gelar haji di depan nama, tentu jangan sampai merusak keikhlasan berhaji.

“Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji”, pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here