Prestisius, Ini Asal-Usul Gelar “Haji” dan “Hajjah”

1551

Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, mengatakan bahwa tradisi seperti itu sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia Islam Melayu bagian lain juga begitu, baik Malaysia, Singapura, Brunei, dan bahkan Thailand Selatan.

“Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka’bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah,” ujarnya melalui pesan singkat, Rabu (24/7).

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, gelar haji dinilai penting dan membanggakan, mencerminkan status sosial tertentu. Menurut Dadi, tradisi penyematan gelar ini bisa dilihat dari tiga perspektif. Pertama, secara keagamaan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa lakukan.

“Untuk itulah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya,” tuturnya.

Sejak awal abad 20, industri perjalanan haji semakin besar. Sejumlah perusahaan kapal Belanda juga turut serta di dalamnya. Jemaah haji Nusantara pun semakin besar jumlahnya.

“Perjalanan haji relatif lebih mudah dan cepat, tapi gelar haji tetap digunakan dan bahkan semakin popular,” jelasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here