Prabowo Marah Meninju Meja, Para Ulama Terperangah (Bag-1)

36810
Bersama Jokowi - 1
Usamah Hisyam usai diterima Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu. (Foto: Muslim Obsession)

“Mohon ampun Bapak, saya tidak bermaksud menggurui. Di mana pun dalam suatu pemerintahan negara, roda pemerintahan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh golongan mayoritas,” saya melanjutkan. Sorot mata Presiden menatap dan menyimak kata-kata saya dengan seksama.

“Mohon maaf Bapak Presiden, sekarang ini sudah tercipta stigma di sebagian golongan muslim, terutama simpatisan 212, seolah-olah pemerintahan Bapak ini Anti Islam. Saya sungguh sedih. Karena bilamana saya amati, sesungguhnya tidak demikian. Karena saya perhatikan, yang terjadi di seputar pemerintahan semacam insubordinasi kebijakan. Atau mungkin lebih tepat distorsi public opinion policy. Bapak menyatakan berkali-kali tidak pernah melakukan kriminalisasi ulama. Itu urusan hukum dengan aparat. Sementara teman-teman 212 melihat itu kriminalisasi ulama. Mereka bertanya, mengapa Presiden melakukan pembiaran? Ini kan rezim Jokowi? Karena itu harus ada solusinya Bapak,” papar saya.

“Semua tudingan itu tidak benar Pak Usamah. Mana mungkin saya anti Islam, wong saya sejak lahir Islam,” tandas Jokowi.

“Saya paham itu Pak. Nanti kan saya luruskan.”

“Apa lagi usulan Pak Usamah?” sahut Presiden datar.

Saya menarik nafas panjang. Cukup hati-hati memilih kata-kata. Karena sejak awal saya selalu menanamkan di benak pikiran harus berhati-hati dalam berbicara. Sejak menunggu di ruang tamu Istana, saya terus wirid agar dilancarkan lidah saya. Pasalnya yang menjadi lawan bicara saya adalah seorang Presiden Republik Indonesia, seorang Kepala Negara dari sekitar 260 juta penduduk, seorang yang memiliki tradisi Jawa yang menjunjung tinggi peradaban, kesantunan, dan sangat tegas dalam mengambil keputusan.

“Begini Bapak Presiden. Saya sekali lagi mohon maaf… mohon maaf. Kata kuncinya adalah Bapak Presiden dan Habib Rizieq harus bertemu. Agar ketegangan umat menjadi teduh. Saya ada skenario lain.”

“Bagaimana itu?” kejar Presiden.

“Pada tanggal 21 Februari 2018 nanti, saya bersama teman-teman mohon izin akan melaksanakan kembali peringatan Aksi 212. Bila Bapak berkenan, saat itu HRS diizinkan pulang. Kami akan jemput bersama-sama, kemudian kami sujud syukur di Istiqlal, syukur-syukur bila Bapak Presiden berkenan Shalat Zhuhur bersama, lantas dilanjutkan pertemuan empat mata dengan Bapak. Tempatnya nanti kita atur.”

“Mau bikin apa lagi Pak Habib pulang?” tanya Presiden.

“Saya sudah bicara dengan beliau, Pak. Habib hanya ingin mengurusi pondok pesantrennya di Mega Mendung, tinggal di atas gunung sana, membesarkan pondoknya.”

“Mana mungkin, Pak Usamah, seorang demonstran betah di atas gunung?” seloroh Presiden dengan seyum kecil dikulum.

“Insya Allah Pak, akan saya kawal sendiri,” tandas saya.

“Pak Habib itu seorang orator Pak Usamah, tidak mungkin bisa diam,” tandasnya.

“Bila diizinkan, saya siap menjadi personal guarantee Pak. Kalau Habib bikin aksi-aksi demo lagi yang menyerang pemerintah, saya saja yang ditahan sebagai jaminan,” tutur saya berusaha meyakinkan.

Presiden hanya tersenyum kecil, sambil mengambil dan memencet tombol bel yang ada di mejanya. Seorang ajudan masuk.

3 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here