Poligami Menurut Ulama-Ulama Sufi

1454

Sebagian ulama filosofis Islam menegaskan, dengan menafsirkan kedua ayat di atas, maka tidak mungkin terjadi keadilan karena tidak mungkin dan mustahil ada keadilan. Oleh karenanya POLIGAMI DILARANG.

Lalu, muncul satu pertanyaan: Apa itu ‘adil’?

Adil disini bukanlah sama rata, sama rasa, sama berat, sama nilai dan lain sebagainya. Ulama tasawuf memaknai kata ‘adil’ yaitu lebih mengedepankan nilai proporsional, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, sesuai fungsi dan sesuai tujuannya.

Contohnya, keadilan pada anak balita tentu akan beda dengan kakaknya yang berusia sekolah dasar. Tidak mungkin dilakukan keadilan ‘sama rata sama rasa’ kepada mereka. Dengan kata lain, keadilan bagi mereka berdua sangat relatif—tergantung tujuan, proporsi dan kebutuhannya.

Lalu, bagaimana mungkin ini bisa diketahui secara pasti tentang kebutuhan mereka?

Menurut ulama tasawuf, keadilan tertinggi mutlak hanya milik Allah Ta’ala. Hanya Dia yang tahu kadar dan fungsi segala sesuatu, maupun kadar dan kebutuhan setiap orang dengan tepat. Dari sudut pandang ini, sungguh mustahil dapat dicapai oleh manusia keadilan ilahiyah setingkat itu. Akan tetapi, bukankah seseorang mampu untuk mendekati tingkat keadilan Allah Ta’ala, jika ia telah mencapai derajat takwa?

Dengan kata lain, keadilan sesungguhnya bisa dicapai dengan cara pendekatan kepada ketakwaan. Ini berdasarkan ayat yang menyatakan bahwa sesungguhnya takwa dan adil itu dua hal yang sangat dekat.

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 8:

اِعۡدِلُوۡا هُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰى وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ

“Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Dan harus kita ketahui bahwa sunnah pernikahan itu sangat terkait dengan ketakwaan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya,” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Al-Hakim).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here