Perempuan Mengimami Laki-Laki dalam Shalat, Bolehkah?

661
shalat
Ilustrasi Shalat Berjamaah (Photo: The Conversation)

Oleh: Drs. H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Saya terkejut dengan tulisan seorang tokoh liberal dalam status Facebooknya yang sempat viral di jagad maya. Dia menulis:

Perkembangan Islam di Eropa mulai menemukan babak kebebasan baru. Di sana, didirikan masjid yang menepiskan segregasi gender pria dan perempuan bersatu di barisan yang sama. Imam shalatnya pun bisa perempuan. Masjid itu juga bisa menerima kaum LGBT. Tentu saja tak ada paksaan bagi umat Islam untuk shalat di sana.

Mereka yang merasa bahwa praktik-praktik semacam itu tidak bisa diterima, dipersilakan shalat di masjid-masjid arus utama  yang  jumlahnya jauh lebih banyak. Namun sebagai alternatif, ini tentu melegakan. Mudah-mudahan, kehadiran masjid ini tidak direspons dengan tindak kekerasan dan teror kelompok lain.

Sanggahan atas tulisan itu

Cukup sebagai sanggahan, kami nukilkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al-Umm. Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i rahimahullah berkata:

“Jika perempuan menjadi imam untuk laki-laki dewasa, perempuan dan anak laki-laki, maka shalat perempuan dalam shalat berjamaah itu sah. Sedangkan untuk laki-laki dan anak laki-laki itu shalatnya tidaklah sah. Dikarenakan Allah menjadikan laki-laki sebagai imam bagi perempuan, juga laki-laki adalah wali bagi perempuan.

Sehingga jika ada perempuan menjadi imam bagi laki-laki, hal itu tidak dibolehkan sama sekali. Begitu juga jika perempuan menjadi imam untuk khuntsa musykil (orang yang punya kerancuan jenis kelamin ini, disebut ambigous genitalia, pen.), shalat dari khuntsa musykil tersebut tidaklah sah.

Seandainya pula perempuan itu menjadi imam untuk khuntsa musykil dan ia belum mengganti shalatnya yang tidak sah tadi, lalu terbukti ternyata orang yang punya kerancuan jenis kelamin tadi adalah perempuan, tetap lebih baik jika orang yang punya kerancuan jenis kelamin mengulangi shalatnya. Jadi, tetap masih dianggap shalat orang tersebut tidaklah sah,” (Al-Umm, 2: 320).

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Referensi: Al-Umm. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Tahqiq: Dr. Rif’at Fauza ‘Abdul Mathlab. Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Sobat Muslim dipersilakan mengirimkan pertanyaan seputar Ilmu Fiqih, insya Allah akan dijawab oleh Ustadz Drs. H. Tb. Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender).

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here