Peraturan Menteri Tentang Kekerasan Seksual Terlalu Sekuler dan Mengabaikan Ajaran Agama

583

Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

Pada 3 September 2021, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 30 tahun 2021 tentang “PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI”. Melalui Permen ini ditegaskan dan diatur cara-cara penanggulangan kekerasan seksual.

Sayangnya, Permen ini tidak mengatur perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan seksual. Tampak bahwa Permen ini terlalu sekuler dan menafikan sama sekali pertimbangan ajaran Islam dan agama lain. Padahal, UUD 1945 pasal 31 (3) menyatakan, bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Begitu juga Tujuan Pendidikan dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pengabaian ajaran Islam itu, misalnya, bisa dilihat pada definisi kekerasan seksual, yang menyatakan, bahwa: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

Permendikbud No 30/2021 ini sangat menekankan masalah “tanpa persetujuan korban”, sebagai salah satu indikator kejahatan seksual. Dijelaskan pada pasal 5, beberapa contoh “Kekerasan Seksual”, seperti: “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.”

Pertanyaannya, bagaimana jika memperlihatkan alat kelamin itu dengan persetujuan korban?” Bukankah memperlihatkan alat kelamin yang tidak pada tempatnya adalah satu bentuk kejahatan dan dosa. Apakah hal itu tidak dipertimbangkan?

Contoh lain, pasal 5 ayat 2 (e), menyatakan: “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.”

Jadi, lagi-lagi, ketiadaan persetujuan korban dijadikan alasan tidak bolehnya melakukan tindakan yang jelas-jelas merupakan perbuatan dosa dan ketidakpatutan, menurut ajaran agama Islam. Perbuatan semacam itu tetap salah, apakah dengan atau tanpa persetujuan korban.

Contoh lain lagi yang lebih parah sekulernya, pasal 5 ayat 2 (j): “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.”

Cobalah kita renungkan bunyi kata-kata dalam ayat tersebut. Artinya, jika korban setuju untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual, maka itu tidak termasuk definisi “Kekerasan Seksual”. Lebih parah lagi pasal 5 ayat 2 (l) dan (m), yang menyatakan: “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban” dan membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban”.

Jadi, sekali lagi, kalau semua bentuk kejahatan seksual (perzinahan atau yang menjurus pada perzinahan) itu dilakukan dengan persetujuan, atau suka sama suka, maka hal itu tidak dimasukkan ke dalam kategori “kekerasan seksual”.

Hal ini dijelaskan pada pasal 5 ayat 3, bahwa: “Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban: 1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Apa artinya ini? Bahwa, kalau sudah sama-sama dewasa, maka persetujuan untuk melakukan aktivitas perzinahan dianggap bukan kekerasan dan kejahatan seksual. Oleh sebab itu, sepatutnya, mohon kesediaan Mendikbud Ristek, kiranya Permendikbud Ristek No 30/2021 ini bisa direvisi. Yang perlu dicegah dan ditanggulangi oleh Perguruan Tinggi bukan hanya Kekerasan Seksual, tetapi juga Kejahatan Seksual, seperti perzinahan.

***

Perzinahan adalah tindakan dosa besar dan diancam hukuman berat dalam kitab-kitab suci beberapa agama. Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri”. (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan super berat. Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan beberapa jenis perzinahan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan:

“(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati – sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.” (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8-15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya. “Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga.” (ayat 15).

Nah, begitulah sikap agama-agama terhadap tindak pidana perzinahan. Sepatutnya, sesuai dengan Tujuan Pendidikan Tinggi sebagaimana disebutkan dalam UU No 12 tahun 2012, masalah perzinahan perlu dicegah dan ditanggulangi. Inilah satu bentuk kejahatan seksual. Berzina suka-sama suka saja satu bentuk kejahatan besar! Apalagi, berzina dengan pemaksaan dan kekerasan seksual.

Semoga Mendikbud Ristek bersedia untuk merevisi Permen No 30/2021 dan mendiskusikannya dengan para ulama dan pimpinan agama-agama lainnya. Tentu kita semua menginginkan agar para mahasiswa menjadi orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt., agar mendapat kucuran berkah dan rahmat dari-Nya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here