Pandangan Paradoks dan Perilaku Kemunafikan

831

Pandangan paradoks 

Hal yang paling menggelikan bagi saya adalah penampakan radikalisme yang dibangun untuk mengusung kepentingan tertentu itu sekaligus menelanjangi karakter ketidak jujuran (hypocritical attitude) sebagian orang.

Bagaimana tidak. Saya melihat betapa banyak orang membanggakan kebebasan berekspresi dunia Barat, bahkan dalam menghujat figur-figur yang dihormati dan disucikan oleh sebagian orang. Ambillah sebagai misal ketika Nabi Muhammad Saw digambarkan sebagai “suicide bomber” (pelaku bom bunuh diri) oleh seorang jurnalis Denmark.

Surat kabar Denmark itu tiba-tiba menjadi sangat populer karena kasus yang kemudian dikenal dengan “Danish Cartoon” yang menggambar seseorang yang kemudian diakui sebagai Nabi Muhammad. Runyamnya lagi gambar yang diakui sebagai Nabi Muhammad itu seolah menyimpan bom di dalam sorbannya.

Oleh pihak-pihak yang dengan mudah dan enteng menuduh orang lain sebagai radikal itu melihat pelecehan Rasulullah Saw sebagai sekedar bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Di sinilah kemudian nampak prilaku paradoks itu. Kalau misalnya jika memang masjid-masjid itu kerap ditempati oleh para penceramah yang dianggap keras. Entah apa definisi ceramah keras itu. Sebab defenisinya juga kadang tidak jelas. Tergantung siapa dan kepentingan apa yang bersembunyi di balik pelabelan itu.

Atau anggaplah masjid-masjid itu memang ditempati ceramah oleh sebagian penceramah yang memiliki pandangan berbeda bahkan berseberangan dengan pihak yang melakukan (so called) penelitian. Misalnya seorang penceramah mengharamkan umat Islam untuk memilih non Muslim untuk sebuah posisi politik.

Apakah hal itu radikal? Manakah yang lebih radikal mengolok-ngolok figur agama yang dihormati, bahkan disucikan, atau menyampaikan pandangan politik berdasarkan penafsiran tele agama yang diyakini masing-masing?

Saya melihatnya di sinilah penelanjangan “kemunafikan” (hypocrisy) itu menjadi semakin nyata. Bahwa pelabelan-pelabelan yang ada kerap kali terbangun di atas kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.

Bagi kami di dunia Barat prilaku ketidak jujuran seperti ini bukan barang baru. Ketika ada pelaku kekerasan yang kebetulan beragama Islam maka dengan serta merta dilabeli dengan “terror”. Biasanya dinamai Muslim terrorist atau Islamic terrorist.

Belakangan ketika terjadi berbagai kekerasan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh warga Kristen Putih Amerika, kata terroris itu tidak pernah terhubungkan dengan afiliasinya. Apakah itu afiliasi agama ataupun afiliasi ras. Christian terrorist atau white terrorist misalnya.

Maka tuduhan kepada masjid-masjid sebagai masjid radikal harusnya juga dilihat dalam kerangka kebebasan berekspresi. Apalagi kalau ukuran pelabelan itu lebih dititik beratkan pada pandangan politik.

Kalaupun pelabelan itu sebuah keharusan maka sikap kemunafikan haruslah dihindarkan. Jangan sekelompok orang dengan enteng dilabel radikal. Sementara perilaku yang sama pada orang lain justru dilabeli dengan kebebasan berekspresi.

Tapi bagi saya hal seperti ini  tidak mengejutkan. Bukankah dunia kita sedang didominasi oleh kepura-puraan, bahkan kemunafikan! (**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here