Pak Kapolri, Pelajarilah Sejarah dengan Benar

1158

Peta Pemilu 1955

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, banyak partai politik Islam yang mengikuti pemilu antara lain Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Partai Thariqat Islam Indonesia (PTII).

Hasil Pemilu 1955 menunjukkan dari 15 daerah pemilihan (dapil), NU menang di dua dapil yaitu di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan Masyumi menang Sumatera Utara (termasuk Aceh), Sumatera Tengah (sekarang meliputi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau), Sumatera Selatan (sekarang meliputi Sumatera Selatan, Bengkulu,  Bangka-Belitung, dan Lampung), Jakarta Raya, Jawa Barat (termasuk Banten), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara-Tengah, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat), dan Maluku (termasuk Maluku Utara).

Melihat kenyataan tersebarnya suara Masyumi di seluruh Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa pada pemilihan umum 1955 hanya Masyumi satu-satunya partai yang bisa disebut sebagai partai nasional.

Di mana Muhammadiyah yang oleh Karnavian akan didukung maksimal?

Bersama dengan, antara lain  Al-Jam’iyatul Washliyyah, Mathla’ul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dan Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah adalah anggota istimewa Partai Masyumi.

Para anggota istimewa Masyumi itu tersebar di berbagai daerah: PUSA di Aceh,  Al-Washliyah di Sumatera Utara, Mathla’ul Anwar di Banten, PUI dan Persis di Jawa Barat.

Jika kita ke Sulawesi, meskipun Kapolri memerintahkan untuk bekerja sama hanya dengan NU dan Muhammadiyah, bagaimana mungkin Polri dapat mengabaikan Darud Da’wah wal Irsyad, atau Al-Khairat?

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), mustahil Polri bisa menafikan Nahdlatul Wathan, organisasi Islam paling berpengaruh di sana?

Bagaimana pula Polri dapat mengabaikan Mathla’ul Anwar, organisasi arus utama di Banten?

Di Sumatera Barat hingga ke Aceh, mungkinkah Polri dapat meniadakan eksistensi Perti dan Persatuan Tarbiyah (yang kini sudah menyatu kembali)?

Maka, instruksi Kapolri kepada seluruh jajarannya untuk hanya bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah, sungguh-sungguh instruksi yang tidak didukung oleh fakta lapangan dan pengetahuan yang benar.

 

Merontokkan NKRI?

Yang paling berbahaya adalah tuduhan dan kesimpulan Kapolri, bahwa jika NU dan Muhammadiyah telah terbukti sebagai tiang utama tegaknya NKRI, maka organisasi yang lain justru akan “merontokkan NKRI”.

Seandainya Jenderal Tito mau sedikit bersusah payah membuka buku “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945” terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995) atau membaca karya RM. A. B. Kusuma, “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” (2009), niscaya Jenderal Tito akan menemukan fakta banyak tokoh di luar NU dan Muhammadiyah yang turut dalam ikhtiar mendirikan negara Indonesia.

Dari Panitia Sembilan,  selain K. H. A. Wahid Hasjim (NU), dan K. H. A. Kahar Mudzakkir (Muhammadiyah), ada dua tokoh Sarekat Islam (SI) yaitu H. Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso.

Di BPUPKI, dua tokoh pendiri PUI: K. H. Abdul Halim dan K. H. Ahmad Sanusi, tercatat sebagai anggota.

Ketika sidang pleno BPUPKI terancam macet lantaran banyak anggota yang menolak rumusan hasil Panitia Sembilan, Ajengan Sanusi menyelamatkan sidang dengan interupsinya yang jernih.

Bagaimana mungkin PUI yang didirikan oleh Ajengan Sanusi dan Mbah Abdul Halim akan merontokkan NKRI?

Jika Kapolri mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca buku Ir. Sukarno, “Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1” (1964), niscaya Jenderal Tito akan bersua dengan satu Bab bertajuk: “Surat-surat dari Ende”. Itulah korespondensi antara Bung Karno yang sedang dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Ende,  di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan tokoh Persis, Ustadz A. Hassan.

Membaca “Surat-surat dari Ende” terasa sekali rasa hormat Bung Karno kepada A. Hassan.

Kelak,  salah seorang kader Persis, murid utama A. Hassan, Mohammad Natsir, melalui Mosi Integral Natsir memprakarsai pembentukan NKRI.

Lantaran jasanya itu, ketika terbentuk NKRI, Presiden Sukarno menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri. “Siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi?” kata Bung Karno dalam nada bertanya menjawab pertanyaan wartawan Asa Bafagih. “Mereka (Natsir dan Masyumi) mempunyai konsepsi menyelesaikan masalah bangsa secara konstitusional,” kata Bung Karno.

Sesudah istirahat dari politik praktis, Natsir dan kawan-kawan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang antara lain memfasilitasi pembangunan masjid kampus, perpustakaan pesantren, mengirim dai ke daerah terpencil dan daerah perbatasan.

Bagaimana mungkin Persis dan Dewan Da’wah dinomorsekiankan dan dianggap akan merontokkan NKRI?

Bagaimana mungkin PUI, yang tokoh utamanya, Ahmad Heryawan, selama 10 tahun terakhir menjadi Gubernur Jawa Barat akan merontokkan NKRI?

Bagaimana mungkin Nahdlatul Wathan yang tokoh utamanya, Syaikh Zainul Majdi, selama 10 tahun menjadi Gubernur NTB, akan merontokkan NKRI?

 

Tiba Saat Tiba Akal

Semakin banyak pertanyaan “bagaimana mungkin”, semakin tampak pidato Kapolri Tito Karnavian sama sekali tidak didukung fakta yang benar dan nihil pengetahuan sejarah.

Untuk meredam kegaduhan yang tidak perlu, ke depan pidato seorang pejabat di forum apapun, sebaiknya disiapkan tertulis. Ini agar setiap pidato pejabat selalu akurat dan terukur. Dengan itu, kita semua dapat bersama-sama belajar. Utamanya belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan baik dan benar.

Bung Karno yang orator pun pidato-pidato resminya selalu tertulis.

Pidato-pidato tanpa teks, apalagi ditingkahi banyak tepuk tangan, dapat menyebabkan sang pemidato lupa segalanya.

Jika sudah begitu, yang berlaku ialah: tiba saat tiba akal.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here