Pak Kapolri, Pelajarilah Sejarah dengan Benar

1157

Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah)

DALAM sebuah acara pameran bicara (talk show) di sebuah statsiun televisi, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, mengatakan bahwa negara dan dasar negara Pancasila dibentuk dan dirumuskan oleh para ulama.

Sampai di sini, pernyataan jenderal bintang dua itu masih oke, oleh karena memang sejak masa awal pergerakan kebangsaan di permulaan abad XX,  tidak terhitung banyaknya tokoh (zu’ama) dan ulama yang terjun dalam pergerakan nasional. Sebut misalnya H. Samanhoedi, H. M. Misbach, H. Hasjim Zaijnie, H. O. S. Tjokroaminoto, K. H. A. Dahlan, H. Fachroeddin, K. H. M. Hasjim Asj’ari, dan H. Agus Salim.

Takashi Shiraishi (2005) mengungkapkan fakta bahwa di masa yang dia sebut sebagai “zaman bergerak” (1912-1926), kombinasi dr. Tjipto Mangunkusumo yang nasionalis dan H. M. Misbach yang muballigh reformis, telah membangkitkan semangat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah Belanda.

 

Anggota Panitia Sembilan

Akan tetapi ketika sang jenderal dengan yakin dan penuh percaya diri mengatakan bahwa pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K. H. M. Hasjim Asj’ari dan pendiri Muhammadiyah K. H. A. Dahlan adalah anggota Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), serta merta banyak kening berkerut.

Entah sang jenderal mendapat pelajaran sejarah di mana, yang pasti Hadratusy Syaikh Hasjim Asj’ari dan Kiai Dahlan bukan anggota Panitia Sembilan. Boro-boro jadi anggota Panitia Sembilan, jadi anggota (BPUPKI) pun tidak.

Jik pendiri NU dan pendiri Muhammadiyah itu bukan anggota Panitia Sembilan, lalu siapa saja sembilan tokoh yang menjadi anggota panitia kecil itu?

Dikutip dari RM. A. B. Kusuma (2009), kesembilan orang itu ialah: (Ir) Soekarno, (Drs. Mohammad) Hatta, (Mr)  Muh. Yamin, (Mr. A. A) Maramis, (K. H. A.) Wachid Hasjim, (Mr. Achmad) Soebardjo, Kiai (Haji) A. K. Muzakkir,  Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Hadji Agoes Salim.

 

Hanya NU dan Muhammadiyah?

Belum habis keheranan kita mengenai rendahnya pengetahuan perwira tinggi kepolisian kita terhadap sejarah perjuangan bangsa, beredar video Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian.

Dalam video itu,  Kapolri bercerita tentang instruksinya kepada seluruh jajaran kepolisian di segala tingkatan untuk bersinergi dan mendukung secara maksimal NU dan Muhammadiyah.

Lagi-lagi, sampai di sini, instruksi Kapolri itu baik-baik belaka. Sebab semua orang mafhum sekali bahwa NU dan Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Amal nyata kedua organisasi itu untuk kemaslahatan bangsa, tidak perlu diragukan lagi.

Masalah muncul ketika Kapolri menambahkan keterangan bahwa kerja sama dengan organisasi lain berada di nomor sekian. Yang lebih mengejutkan, Kapolri menyebut organisasi di luar NU dan Muhammadiyah hendak merontokkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Astaghfirullah!

Lagi-lagi kita dipertontonkan fakta betapa rendahnya pengetahuan petinggi polisi kita terhadap sejarah perjuangan bangsa.

Meskipun pidato Karnavian berbau politik belah bambu, saya yakin seyakin-yakinnya,  umat Islam tidak akan terprovokasi. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Buya Ahmad Syafii Maarif, atau tokoh NU semisal K. H. Shalahuddin Wahid paling-paling tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala membaca statement Kapolri yang nihil pengetahuan sejarah itu.

Yang dikhawatirkan, justru aparat kepolisian melaksanakan instruksi Kapolri secara membabi buta. Mengapa? Karena meskipun NU dan Muhammadiyah adalah organisasi terbesar di Indonesia, tetapi tidak di seluruh wilayah Indonesia NU dan atau Muhammadiyah menjadi arus utama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here