Di sisi lain, ada Muataz (Motaz Faez Basha) anak berusia 10 tahun yang bercita-cita ingin bernyanyi di ajang pencari bakat. Dia berharap ibunya yang di Istanbul – yang mengabaikannya setelah menikah lagi – akan melihatnya dan mengajaknya tinggal bersama.
Sedangkan Ahmad (Ahmad Husrom) anak berusia 11 tahun yang ceriwis, selalu merindukan ayahnya, sehingga acapkali ia berdelusi melihat sang ayah.
Dikutip dari Islami.co berbeda dengan beberapa film Iran yang menekankan pentingnya pendidikan (Children of Heaven, Blackboard, Budha Collapsed out of Shame) film ini justru sebaliknya.
Isa, Ahmad, Muataz, selalu bolos sekolah. Karenanya, mereka acapkali dimarahi oleh ibu asrama.
Selain itu, untuk mencari nafkah, ketiga anak itu terpaksa berjualan tisu di wilayah Balıklıgöl yang digambarkan sangat eksotis.
Tak ada yang peduli dengan anak-anak jalanan ini, tapi mereka ialah anak-anak yang giat bekerja. Tujuan mereka mencari uang hanya satu, yakni untuk pergi ke kota Adana, mengantarkan Ahmad ke ajang lomba menyanyi.
Tapi Isa, rupanya punya motif lain. Ia diam-diam memiliki hutang yang harus dibayar secepatnya kepada Karaca, seorang gangster jalanan.
Namun, anak-anak tetaplah anak-anak dengan berbagai karakteristiknya. Walau di tengah guncangan pasca-perang, ada Tukka yang ingin membeli sepasang merpati untuk adiknya tetapi uangnya selalu kurang.
Ada juga seorang perempuan belia yang kasar dan tak mau bergabung dengan anak jalanan lainnya, tapi sebenarnya baik hati.
Mengingat aktor-aktornya adalah para pengungsi perang dan yatim/piatu, emosi mereka tertransfer kuat hingga ke penonton.
Silahkan lihat bagaimana reaksi para pemainnya saat adegan ketika Ahmad, yang secara misterius menghilang dan tiba-tiba muncul.
Apalagi lagu yang didendangkan biduan cilik di pentas seni yang sangat menjiwai film tersebut. Boleh jadi, akan menghantui pikiran penonton hingga terbawa pulang. (Vina)
