Narasumber Sejarah Peradilan Agama Zaini Ahmad Noeh Telah Tiada

992

Oleh: M. Fuad Nasar (Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama)

Penelitian ilmiah di dalam dan dari luar negeri tentang sejarah Peradilan Agama di Indonesia kebanyakan mengambil rujukan dari buku dan makalah narasumber H. Zaini Ahmad Noeh. Persahabatan Hisako Nakamura dari Jepang dan Daniel S. Lev dari Harvard University Amerika Serikat dengan Zaini Ahmad Noeh bermula dari kegiatan penelitian kedua sarjana asing tersebut mengenai Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan di kepulauan Nusantara. Selain menulis buku sendiri, Zaini Ahmad Noeh menerjemahkan buku Islamic Courts in Indonesia karya Daniel S. Lev dengan judul Peradilan Agama Islam Di Indonesia (1980), dan buku Perceraian Orang Jawa: sebuah studi tentang pemutusan perkawinan di kalangan orang Islam Jawa karya Hisako Nakamura (1991).

Sesepuh dan mantan pejabat tinggi Kementerian Agama Zaini Ahmad Noeh atau sering disingkat Z.A. Noeh berpulang ke rahmatullah Minggu 8 Juli 2018 pukul 21.00 WIB dalam usia 89 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di TPU Jeruk Purut Jakarta Selatan hari Senin (9/7) siang, setelah dishalatkan di Masjid Quba Komplek Pribadi DPR-RI Joglo Jakarta Barat. Beliau dimakamkan satu liang lahat dengan istrinya almarhumah Ibu Hj. Masjrafah binti K.H.  Moehd Djoenaidi.

Sejumlah karangan bunga ungkapan turut berduka cita berasal dari beberapa pejabat, di antaranya dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Di antara pelayat di rumah duka hadir mantan Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Wahyu Widiana yang sebelumnya menjabat Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama di Kementerian Agama.

Zaini Ahmad Noeh lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 3 Maret 1929. Ia merupakan anak ke-4 dari 8 bersaudara, putra dari bapak dan ibu Aboe Soeoed Mansoer dan Hindun. Ayahnya adalah penghulu agama. Kakeknya juga menduduki jabatan penghulu agama di masa pemerintahan kolonial.

Z.A. Noeh menempuh pendidikan HIS di Banjarnegara, Madrasah Tsanawiyah di Banjarnegara, Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) di Yogyakarta, Advanced Study and Training ALOKA di Srilanka, dan Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA) Interdepartemental di Jakarta.

Pada masa revolusi fisik melawan penjajah, Z.A. Noeh bergabung dalam Barisan Hizbullah Cibarusah (1945), Laskar Hizbullah Kompi I Batalion V Temanggung, Resimen II Divisi Sultan Agung (1947), dan Batalion II KDM Klaten (1948). Konon beliau sempat menjadi Tentara Pelajar (TP) di zaman pendudukan Jepang.

Sebagai birokrat pejuang dan pemikir Z.A. Noeh meniti karier di Kementerian Agama RI sejak tahun 1954 hingga memasuki usia pensiun tahun 1985. Selama masa pengabdian yang panjang, beberapa tugas dan jabatan pernah dipercayakan kepadanya, antara lain Direktur Peradilan Agama di masa Menteri Agama K.H. Mohd Dachlan, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat di masa Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Jabatan terakhir almarhum ialah Staf Ahli Menteri Agama RI. Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara mengamanahkan tugas sebagai kepala proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama kepada Z.A. Noeh tahun 1978 – 1981. Ia juga pernah menjadi anggota Tim Penyusunan Rancangan Peraturan tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura (1957), dan anggota Tim Penyusunan RUU Perkawinan (1972).

Z.A. Noeh dengan pengalaman pengabdian yang panjang di lingkungan Kementerian Agama menjadi bagian dari sejarah perkembangan sistem peradilan agama di Indonesia, khususnya pasca kemerdekaan. Dalam beberapa literatur dan wawancaranya, Z.A. Noeh menegaskan bahwa  kedudukan dan wewenang Peradilan Agama merupakan salah satu institusi penegak hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang hukum Islam. Semasa hidupnya beliau menulis buku, makalah, artikel serta melayani wawancara terutama mengenai sejarah dan sistem peradilan agama dan hukum perkawinan di negara Republik Indonesia. Buku-buku yang ditulisnya, di antaranya: Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam Di Indonesia, Sejarah Peradilan Agama, Pedoman Dasar Kerukunan Umat Beragama, dan Monografi Lembaga Agama di Indonesia.

Dalam aktivitas organisasi, Zaini Ahmad Noeh pernah menjadi Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Daerah Yogyakarta, Pengurus Persatuan Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia, PP Al-Ma’arif, PP Dewan Masjid Indonesia, dan anggota pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam kurun waktu 1954 – 1970, Z.A. Noeh merupakan salah satu penggagas dan penanggungjawab pembangunan Pos Obervasi Bulan yang pertama di Indonesia, yaitu di Pelabuhan Ratu, Sukabumi Selatan. Pusat Observasi Bulan itu dibangun secara mandiri oleh Kementerian Agama mulai tahun 1958 tanpa dana APBN, dan diresmikan oleh Menteri Agama K.H. Mohd Dachlan pada tanggal 18 Maret 1970 – 10 Muharam 1390 H.

Dalam buku Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH (Gema Insani Press, 1996), Zaini Ahmad Noeh menulis, “Menurut opini umum, pengaruh terkuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum keluarga/perkawinan. Ini terbukti dengan berlakunya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kekuasaannya meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Jarang orang menyadari bahwa hukum tata negara Islam justru lebih mewarnai kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia, sekalipun berada di bawah administrasi pemerintah Hindia Belanda. Ciri utama negara Islam adalah urusan agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara.”

Mengenai Peradilan Agama, dengan mengutip beberapa pendapat, Zaini Ahmad Noeh mengemukakan teori pembentukan lembaga peradilan Islam atau Qadla dapat dilakukan dalam tiga bentuk.

Bentuk Pertama: Peradilan harus dilakukan atas dasar pelimpahan wewenang atau ”tauliyah” dari Imam. Imam adalah Kepala Negara yang disebut pula dengan ”waliyul-amri”. Dalam pada itu sekiranya seorang penguasa, yang di dalam istilah Fiqh disebut ”dzu syaukah”, dan sekalipun sultan yang kafir mengangkat seorang hakim yang kurang memenuhi persyaratan, keputusan hakim yang demikian itu harus dianggap berlaku sah, demi untuk tidak mengabaikan kemaslahatan umum.

Bentuk Kedua: Bila di suatu tempat tidak ada Penguasa atau Imam, pelaksanaan peradilan dilakukan atas dasar penyerahan wewenang, yakni Tauliyah dari ”ahlul Halli wal-’aqdi”, yaitu para tetua dan sesepuh masyarakat seperti ninik-mamak di Sumatera Barat, secara kesepakatan. Arti harfiyah dari istilah ini, adalah ”orang-orang yang berwenang untuk melepas dan mengikat”. Dalam buku Adatrecht II dari Prof. Van Vollenhoven, istilah itu diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan kata-kata ”de tot losmaken en binden bevoegden” dan ditambahkan artinya sebagai ”majelis pemilih kepala negara yang baru (kiescollege voor een nieuw staatshoofd)”.

Bentuk Ketiga: Dalam keadaan tertentu, terutama bila di suatu tempat tidak ada hakim, maka dua orang yang saling sengketa dapat ”bertahkim” yakni mengangkat seseorang untuk bertindak sebagai hakim, dengan persyaratan aantara lain. kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat akan menaati keputusannya, begitu pula tidak menyangkutkan keputusannya dengan hukuman badaniyah, yakni pidana dan lain-lain sebagainya.

Buku  Transformasi Dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken Ke Kementerian Agama dan Departemen Agama (UI Press, 2000) yang saya tulis mendapat dukungan beberapa bahan berharga dari Bapak Zaini Ahmad Noeh. Saya diberi makalah yang ditulis beliau mengenai Munas Alim Ulama di Istana Cipanas Bogor tahun 1954 yang menghasilkan keputusan pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Waliyul Amri Ad-Dharuri Bisyaukah dalam kaitan dengan keabsahan pejabat pemerintah menjadi wali hakim dalam akad nikah bagi mempelai perempuan yang tak ada walinya.

Keponakan beliau Dr. Sudarnoto Abdul Hakim (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen UHAMKA) yang mengimami shalat jenazah almarhum Zaini Ahmad Noeh dalam sambutannya mensitir makna Hadis Nabi Saw, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”

Pada waktu melayat dan berada dalam konvoi kendaraan mengiringi jenazah almarhum ke tempat pemakaman, terbayang kembali saat perkenalan dan perjumpaan saya dengan almarhum Bapak Zaini Ahmad Noeh. Sambutan hangat dan keramahannya tidak bisa dilupakan.

Selamat jalan Bapak Zaini Ahmad Noeh. Kembalilah kehadirat Allah dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here