Misi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir (Bagian 4/Habis)

844

Akhirnya sampai juga di Singapura. Tak seorang pun menjemput di airport, sedang uang sudah betul-betul menipis. Almarhum Mr. Oetojo yang waktu itu menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri RI, tidak tahu menahu tentang kedatangan saya, dan tidak pula menolong saya yang kekurangan uang untuk pulang. Ditambah lagi dengan berita bahwa Kabinet Sjahrir sudah demisioner.

Untunglah masalah ini diketahui oleh seorang dermawan yang terkenal di Singapura, Ibrahim Assegaf (almarhum) dan seorang teman bernama Ali Talib Yamani. Mereka kemudian membantu saya karena simpatinya kepada perjuangan Indonesia.

Terutama Saudara Ali Talib Yamani inilah yang mengusahakan sehingga saya mendapat tiket kapal terbang setelah sekian hari tertahan di Singapura, sebab perwakilan Belanda di Singapura tidak mau memberikan visa.

Dengan berbagai akal, akhirnya pada tanggal 13 Juli 1947, pesawat KLM yang saya tumpangi tinggal landas menuju Jakarta.

Airport Kemayoran tanpak menegangkan. Penjagaan ketat, karena adanya ultimatum dari van Mook. Polisi Militer (dahulu Militer Polisi, MP) berkeliaran di mana-mana. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar dapat lolos dari pemeriksaaan. Baru di saat itu saya teringat akan tasbih pemberian Amir Abdulkarim dan doa-doa yang diajarkannya.

Jari-jari tangan kanan menggenggam tasbih itu dan tangan kiri memegang aktentas catatan penting, sementara Naskah Perjanjian masih tetap di dalam sepatu! Aktentas itu masih aktentas lama yang saya bawa ke Kairo dengan kunci yang juga masih sering macet.

Entah bagaimana, aktentas, juga koper saya, lolos dari pemeriksaan. Petugas itu seperti sedang buta ketika saya lewat di depannya. Koper dan aktentas langsung saya sambar, untuk kemudian bergegas mencari taksi menuju kediaman Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin.

“Alhamdulillah, aman!”, begitu kata saya sambil menaruh diri di jok mobil Austin yang meninggalkan Kemayoran.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here