Misi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir (Bagian 4/Habis)

851

Melalui cara yang berbelit-belit, dengan sedikit mengelabui petugas, akhirnya saya dapat menemui Amir Abdulkarim di tempat persembunyiannya. Suatu pertemuan yang mengesankan, penuh dengan hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman yang dapat bermanfaat untuk perjuangan di Indonesia.

Ketika saya pamit, ia menyerahkan haiyah, seuntai tasbih, kepada saya. “Anakku, saya tidak punya apa-apa. Hanya tasbih ini yang selalu aku gunakan untuk menghitung kata-kata pujian dan permohonan kepada Allah selama 21 tahun aku di pengasingan Pulau Rignon. Dan kini, aku merdeka. Bawalah tasbih ini. Insya Allah, Tuhan akan menolongmu. Bukan tasbih ini yang menolong, akan tetapi kata-kata pujian dan doa (yang ditulisnya di buku notes saya) yang dihitung terus oleh tasbih ini, yang menyebabkan Allah menolongmu.”

Pada saat itu, saya tidak begitu memandang penting masalah tasbih dari pahlawan Rifkabilen ini. Baru kemudian hari saya mengerti makna kata-katanya.

Perjanjian sudah ditandatangani. Semua merasa gembira dan bersyukur. Semua yang berurusan dengan Perjanjian itu, mulai dari para anggota Liga Arab, wartawan-wartawan Kairo, kaum intelektual di sana, begitu juga kalangan politik, memberikan dukungannya.

Menarik untuk dianalisis, dukungan itu. Sebab kaum oposisi Partai Wafd pun memberikan dukungan hebat.

Satu hal yang dapat dikatakan tentang latar belakang bantuan dan dukungan itu, seperti diucapkan oleh Abdul Mun’im ketika ia berpidato di Istana Kepreidenan Yogya, tiga bulan sebelumnya, ikatan Islam inilah yang mendorong timbulnya dukungan kepada perjuangan bangsa Indonesia. Jiwa Islam mendidik kita untuk selalu menentang semua bentuk penjajahan yang pada dasarnya adalah perbudakan.

Seperti tertulis di awal karangan ini, terasa sekali hangatnya persaudaraan itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here