Meski Sedikit, Makanan Tidak Halal Sangat Berbahaya

641

Jangan Meremahkan Dosa, Harus “Zero Tolerance”

Dari ibroh kasus tentang nyamuk yang dijelaskan secara gamblang dalam ayat Al-Qur’an itu, sepatutnya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dengan membuat analogi: betapa berbahayanya makanan yang tidak halal, kalau masuk ke dalam tubuh kita, sekecil apa pun ukurannya! Bakteri atau kuman penyakit dari nyamuk yang berukuran mikron saja dapat menimbulkan bahaya yang demikian rupa. Apalagi makanan yang tidak halal, atau pangan haram yang berukuran suapan tangan, masuk ke dalam tubuh kita.

Dalam khazanah bahasa Indonesia, ada peribahasa populer yang menyatakan, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Perhatikanlah, betapa setitik/setetes nila atau racun yang volumenya tak sampai 1 cc, bila bercampur dengan susu, niscaya dapat merusak susu sebelanga yang volumenya bisa mencapai puluhan liter.

Dalam contoh lain, seseorang yang dipatuk ular berbisa, dapat menderita sakit luar biasa. Bahkan bisa berakibat fatal. Padahal bisa atau racun ular yang masuk ke tubuh orang yang dipatuk ular itu, bobotnya tak sampai seukuran satu gram. Namun dampaknya, dapat membuat sekujur tubuh orang yang bobotnya puluhan kilogram jadi sakit, bahkan juga meninggal dunia.

Oleh karenanya, bagi kita yang beriman, harus berlaku prinsip “Zero Tolerance” terhadap pangan haram dengan segala bentuk turunannya. Tak boleh ada toleransi sedikit pun!

Rasulullah saw. telah mengingatkan kita dengan haditsnya yang bermakna, “Takutlah kalian dari tindakan meremehkan dosa.” (HR. Imam Ahmad).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan (maksiat/dosa) dan menyangka bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami menganggapnya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang membinasakan.” (HR. Bukhari no. 6492).

Jika disebutkan bahwa ia sangka suatu dosa itu lebih tipis dari rambut, itu tanda meremehkan dosa. Padahal sesuatu yang dianggap sepele seperti ini, di sisi Allah justru begitu besar. Tentang hal ini, dijelaskan pula oleh Bilal bin Sa’ad seorang ulama tabi’in terkemuka: “Janganlah kamu lihat kepada kecilnya sebuah maksiat, akan tetapi lihatlah betapa agungnya (Allah) Yang kamu maksiati” (lihatlah: Az-Zuhd, Ahmad hal. 460; Hilyatul-Auliya’, Abu Nu’aim 5/223).

“Dosa kecil bisa menjadi besar,” fatwa Imam Auza’i pula, “jika seorang hamba menganggapnya kecil dan meremehkannya.” Sesuatu yang kecil, jika terus ditumpuk dan dikumpulkan, maka ia akan membesar. Sebuah peribahasa mengatakan, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”.

Demikian pula dengan perbuatan dosa, meskipun dianggap kecil, namun kalau terus diulang-ulang, maka ia pun menjadi dosa besar. “Bukanlah dosa kecil jika dikerjakan terus menerus,” kata Ibnu Abbas, “dan bukanlah dosa besar jika diiringi dengan taubat.”

Umumnya, pengulangan atau pembiasaan dosa itu berawal dari sikap meremehkan dosa. Karena terbiasa mengerjakan dosa yang dianggap kecil, maka timbul kepuasan dan kesenangan dalam jiwanya. Jelas ini sangat berbahaya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Al-Ihya’ menyatakan,  “Termasuk dosa besar adalah, merasa senang, gembira dan bangga dengan dosa.” Seperti orang yang kecanduan dalam berbuat atau menikmati sesuatu, termasuk dalam berbuat yang salah. Seperti kecanduan nikotin, atau bahkan juga narkoba, dst.

Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, niscaya akan terjadi titik hitam di hatinya. Hal ini disebutkan dalam ayat Al-Quran, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu (perbuatan maksiat atau dosa) akan menutupi hati mereka (menjadi titik-titik hitam).” (QS. Al-Muthoffifin, 84: 14).

Dalam ayat lain, Allah telah pula mengingatkan kita dengan ayat-Nya yang mulia: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan (dosa) sebesar dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. 99: 8).

Dari ayat tersebut dapat dipahami, betapa dosa yang sangat kecil, sebesar dzarrah, sekalipun, sehingga mungkin dianggap remeh, niscaya akan dibalas dengan siksa yang tiada tara. Para ulama kontemporer menjelaskan, “dzarrah” adalah ukuran benda/materi yang amat kecil. Sebagiannya menjelaskan lagi, semisal seukuran atom, atau bahkan lebih kecil lagi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here