Merawat Kebhinnekaan: Pengalaman Kehidupan Pesantren

629

Oleh: Ahmad Zayadi (Kakanwil Kemenag Jatim)

Jika disebut Indonesia, yang terbayang adalah sebuah entitas bangsa, institusi negara, teritori yang terdiri atas puluhan ribu pulau dan hamparan lautan, dengan keragamana latar belakang suku, budaya dan agama yang sangat luar biasa.

Karena keragamannya, maka konsep tentang negara-bangsa pun sejak awal kemerdekaan sudah disadari dihadapkan pada problem dan tantangan yang sangat serius. Dan, yang mempersatukan Republik Indonesia saat-saat itu adalah “the imagined Indonesia”, sebuah cita-cita politik yang menyatukan agama, suku, budaya dalam keragaman mereka masing-masing.

Semangat “harmony and unity in diversity”. Inilah yang menjadi salah satu identitas yang paling dominan bangsa Indonesia, dari dulu hingga sekarang. Para pendiri bangsa menangkap semangat penduduk di nusantara untuk memiliki rumah bangsa dan negara yang berdaulat dan bermartabat setelah sekian lama, bahkan ratusan tahun dihina dan diperas oleh kekuatan penjajah. Dengan penuh kesadaran, mereka bersatu dalam keragaman atau kebhinnekaan.

Tidak ada teori yang disepakati tentang penduduk pulau apa yang paling tua peradabannya di nusantara ini. Ingatan kolektif yang menonjol dan mengikat kohesi sosial kita adalah penduduk nusantara ingin bangkit dan bersatu sebagai bangsa yang makmur, maju dan beradab, terbebas dari berbagai bentuk penindasan serta fragmentasi sosial berdasarkan etnis, suku, agama maupun kelas sosial.

Kesadaran kolektif penduduk di nusantara terus mengalami dinamika sejarahnya. Dan, pada akhirnya identitas ke-Indonesiaan tersebut terbentuk dalam tempo waktu yang tidak singkat, namun hasil dialog sejarah panjang dari generasi ke generasi. Tak salah jika para founding father, para pendiri bangsa menyepakati “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan negara Indonesia.

Sayangnya, keunikan yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya itu belu. semuanya disadari oleh setiap masyarakat. Masih ada saja orang yang memahami bahwa seolah-olah Indonesia hanya dimiliki satu kelompok saja. Sikap ini yang tidak jarang melahirkan perilaku diskriminasi, intoleransi, intimidasi, bahkan bisa sampai perang saudara.

Padahal keragaman agama, suku, budaya sudah ada sejak lama. Demi menjaga keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan (harmony and unity in diversity) bangsa Indonesia, semangat Bhinneka Tunggal Ika mau tidak mau harus dirawat dan dijaga secara bersama-sama.

Kebhinnekaan Sebagai Sunnatullah

Perbedaan dalam segala hal adalah keniscayaan hidup di dunia (sunnatullah). Allah tidak menghendaki adanya keseragaman atau monolitik, termasuk soal keberagaman umat beragama. Allah sendiri telah menegaskan dalam firman-Nya: jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud [11]: 118)

Dengan demikian, satu identitas dan keseragaman adalah sesuatu yang mustahil, meskipun Allah mempunyai kuasa untuk melakukan hal itu, namun perbedaan umat justru bisa menjadi ajang untuk saling berlomba dalam kebaikan. Oleh sebab itu, anti terhadap keragaman berarti anti sunnatullah.

Ketika Rasulullah SAW membangun negara kota Madinah, hal pertama yang Nabi lakukan adalah mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Lalu Nabi mendamaikan kabilah-kabilah Arab, Yahudi, dan Nasraniyang sedang bertikai. Untuk menjamin perdamaian di antara berbagai kelompok majemuk, Rasulullah menetapkan Piagam Madinah (al-mitsaq al-Madinah) atau konstitusi Madinah.

Teks Piagam Madinah berdasar prinsip Al-Quran yang menegaskan pentingnya kemanusiaan dan ikatan sosial di antara ummat manusia yang berbeda dan beragam, serta urgensi mewujudkan persaudaraan, persatuan, dan kerjasama dalam kehidupan sosial guna mencapai kemaslahatan bersama.

Wali Songo: Peletak lnklusivisme

Wali Songo pada kisaran abad ke-15 dalam misinya tidak hanya mementingkan da’wah di Nusantara semata. Mereka sangat peka dan bijaksana dalam menghadapi keragaman suku, budaya dan agama di nusantara. Sadar akan kondisi demikian, Wali Songo melakukan akulturasi budaya lokal dengan dikombinasikan subtansi ajaran Islam.

Oleh sebab itu, fakta berbicara bahwa dakwah dengan media budaya dinilai sangat efektif untuk mengambil simpati masyarakat Nusantara, yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam tanpa paksaan.

Sikap inklusivisme atau keterbukaan Wali Songo terhadap budaya lokal inilah menjadi peletak dasar keramahan Islam di tanah Nusantara. Karakter tersebut kemudian turun menurun kepada generasi ulama abad 16-17. Generasi ini yang pertama kali membuka pengajian kecil di surau-surau yang nanti menjadi embrio lahirnya “pondok pesantren” yang dikenal sekarang ini.

Dapat dinyatakan, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Ruh dan karakternya dinilai meneruskan estafet perjuangan dakwah Wali Songo.

Nyatanya memang benar, kalangan pesantren yang dahulu disebut “Islam tradisional” ini paling militan untuk merawat beraneka ragam tradisi, seni, budaya lokal. Hari inipun kita bisa membuktikan proses pendidikan di Pondok Pesantren telah nyata menghasilkan lulusan yang berakhlaqul karimah, damai, toleran dan mampu bermuamalah dengan siapapun dengan cara-cara yang ma’ruf.

Kebhinnekaan: Pengalaman Kehidupan Pesantren

Dalam sejarahnya, pengalaman pesantren dalam “memperjuangkan kemerdekaan” bukan hanya demi kemaslahatan umat Islam, tetapi demi kepentingan segenap bangsa (al-maslahah al-‘ammah), yang beraneka agama, suku dan budaya. ltu merupakan bukti dan komitmen pesantren dalam mengakui, merawat dan melindungi kebhinnekaan Indonesia.

Puncaknya, tokoh kiai pesantren seperti KH Wahid Hasyim yang mewakili umat Islam dalam perumusan bentuk negara tidak menghendaki negara lslam, padahal umat Islam adalah mayoritas. Lalu, dalam kerangka membangun konsensus nasional (mu’ahadah wathoniyah) para pendiri bangsa bersepakat untuk menjadikan “Pancasila” sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain sebagai lembaga dakwah dan pusat penyebaran ajaran Islam, dalam perjalanannya pesantren juga merupakan ruang tranformasi keilmuan dan kebudayaan (transformation of sciences and cultures). Sehingga hal itu sangat berdampak pada karakter santri yang tidak aneh dan asing lagi dengan tema-tema kemajemukan masyarakat Indonesia.

Sejak awal pula, pesantren telah mengajarkan metode belajar ilmu agama Islam tidak hanya satu varian, pada umumnya biasa mempelajari ’empat mazhab’ (madzahib al-arba’ah). “Keterbukaan” terhadap pandangan keagamaan yang berbeda adalah sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah dalam literatur-literatur kitab kuning pesantren.

Orang-orang pesantren tidak menghendaki adanya tafsir tunggal yang paling benar. Mereka meyakini perbedaan hasil ijtihad di antara para imam mazhab dan murid muridnya adalah rahmat bagi umat Islam (al-ikhtilafu rahmatun). Tatkala menemukan perbedaan hukum misalnya, santri-santri tidak lantas kaget, karena tahu alasan mengapa bisa berbeda hukum.

Ada yang lebih menarik, “kamar-kamar pesantren” -biasa disebut kobong atau bilik- dihuni oleh para santri yang berbeda etnik dan budaya itu menyatu tanpa ada perlakuan khusus dan diskriminasi. Dari sini terbentuklah kepribadian yang sederhana, kuat dalam ukhuwwah, kemandirian, dan kebersahajaan, yang kemudian menjadi ciri khas santri pesantren.

Tidak jarang melalui kamar pesantren, santri-santri dapat sharing dengan sesama temannya yang berbeda asal daerah dan suku, entah itu bahasa, budaya dan lainnya. Ini menjadi ruang dimana para santri betul-betul merasakan kebhinnekaan dan kekayaan budaya Indonesia.

Maka seandainya diadakan sebuah survei atau penelitian, hampir dapat dipastikan bahwa yang menjadi santri di pesantren-pesantren besar kebanyakan bukan hanya putera-putera daerah sekitar pesantren, tetapi berdatangan dari penjuru Tanah Air. lni yang menjadikan pondok pesantren ramah dan terbuka (friendly and inclusive) kepada umat Islam siapa saja yang bersedia menimba ilmu.

Dalam perkembangannya, sebagian pesantren justru nampak semakin terbuka. Misalnya beberapa pesantren menerima kunjungan turis atau para peneliti dari berbagai larat belakang negeri, bahkan ada yang menerima mereka sebagai “Ustadz” (baca: volunteer) untuk mengajarkan bahasa Inggris, matematika, atau teknologi kepada para santri.

Pesantren: Ruang Transformasi Kebhinnekaan

Paradigma pesantren yang terbuka terhadap kebhinnekaan dan tradisi ini tidak lepas dari keyakinan dan kesadaran bahwa Indonesia tidaklah dibangun di atas satu agama atau golongan saja. Indonesia diperjuangkan atas tumpah darah berbagai golongan. Jika orang-orang pesantren melawan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sama saja mereka tidak mengakui identitas Indonesia.

Berangkat dari dasar pemikiran di atas, setidaknya ada dua poin penting bagi pesantren untuk mentransformasikan semangat kebhinnekaan kaum sarungan. Pertama, tradisi bahsul masa-il ad-diniyyah sebagai salah satu tradisi akademik di pesantren diharapkan dapat menghasilkan rumusan baku dan matang tentang konsep memahami dan mengelola kebhinnekaan yang bersumber dari literatur kitab kuning. Konsep ini menjadi rujukan dan legitimasi bahwa Islam sangat ramah terhadap keragaman, bukan berwatak ekstrem untuk melawan berbagai perbedaan identitas.

Kedua, karakter pendidikan pesantren yang sudah terbiasa ramah dan terbuka itu perlu ditunjang manajemen yang lebih rapi lagi. Ini sangat penting untuk membuka peluang menerima lebih banyak lagi dari kalangan generasi muda untuk menimba ilmu di pesantren.

Dengan dernikian, pondok pesantren sangat patut dicontoh untuk membangun kesadaran dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tidak hanya kesadaran, namun dalam situasi bangsa yang rentan konflik skala besar ini, patut juga untuk dikelola dalam kehidupan sehari-hari agar benar-benar kebhinnekaan tersebut menjadi “keberkahan” untuk kekuatan dan kemajuan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here