Menjawab “Kapan Covid-19 Game Over”?

656

Oleh: Roso Daras (Wartawan senior)

Topik “kelompok usia 45 tahun ke bawah” diberi kelonggaran untuk beraktivitas, masih menjadi topik hangat. Memang tidak sepanas kemarin (12/5/2020). Setidaknya, isu ini masih akan terus bergulir.

Bukan semata karena kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsir kebijakan itu, tapi karena penanganan wabah Covid-19 memang sudah memasuki fase “relaksasi”.

Bahkan dalam Rapat Terbatas Presiden Joko Widodo bersama sejumlah gubernur, Ketua Gugus Tugas Covid-19, dan para pemangku kepentingan lain kemarin (12/5/2020), topik pelonggaran PSBB disinggung beberapa kali.

Usai Ratas itu, Kepala Gugus Tugas Percepatan Pengananan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo kembali merilis keterangan pers. Pernyataan Doni relatif tidak mengandung isu-isu kontroversial. Kecuali, bagi para pihak yang masih belum memahami benar kebijakan pelonggaran yang dimaksud.

Baca juga:

Doni Monardo “Diserang”, Ini Duduk Perkaranya

Tak Banyak yang Tahu, Ada LO di Antara Gugus Tugas Covid-19

Doni Monardo: Saya Tegaskan Sekali Lagi, Mudik Dilarang! Titik!

Terkait hal itu, Tenaga Ahli Bidang Media BNPB, yang juga Anggota Gugus Tugas Covid-19, Egy Massadiah –tanpa saya minta—mengirim sejumlah bahan. Mulai dari press release resmi yang diambi dari laman presidenri.go.id, hingga keterangan pers Doni Monardo. Satu yang menarik, adalah kiriman data-data yang dihimpun Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, Prof Wiku Adisasmito.

“Saya harap sih, tidak ada lagi mispersepsi di kalangan masyarakat, yang bersumber dari tulisan di media. Sebab, salah kutip bisa menimbulkan keresahan. Memang, ada mekanisme ralat, tetapi belum tentu pembaca pertama, membaca ralat yang dimuat di pemuatan berikutnya. Apalagi, perputaran berita online sangat cepat, karena umumnya media online mengejar klik bite,” ujar Egy.

Memang, di sebagian masyarakat masih beredar sedikit rasa khawatir, jika program pelonggaran tadi dijalankan. Mereka mengkhawatirkan, penyebaran virus corona kembali liar dan tak terkendali. Bahasa sederhananya, “diberlakukan PSBB saja masih ada yang mencuri-curi peluang untuk bepergian. Termasuk mudik. Apalagi kalau diperlonggar.”

Kekhawatiran itu menjadi beralasan. Bukan karena benar seperti itu, tetapi karena besarnya pengaruh medsos. Jika kita perhatikan, persentase tulisan yang menyorot ulah sebagian masyarakat yang mencuri-curi peluang untuk bepergian, jauh lebih besar dibanding berita tentang kepatuhan masyarakat yang mematuhi anjuran stay at home.

Bahwa ada yang lolos dari PSBB, harus dilihat dengan kepala sejuk. Dan itu biasa saja. Jangankan peraturan PSBB, sedangkan bangunan beton yang terbuat dari cor-coran semen saja bisa rembes. Yang harus dilihat sebenarnya, perbandingan warga yang “bandel” dengan warga yang patuh.

Harus diakui, gerakan stay at home, berhasil. Ini bukan klaim tanpa data. Kepala Gugus Tugas Doni Monardo menunjukkan data yang memperkuat. Contoh, di DKI Jakarta, tingkat keberhasilannya mencapai 60 persen. Indikasinya dilihat dari jumlah pasien yang dirawat di RS rujukan Covid-19.

Tiga orang gubernur yang daerahnya memberlakukan PSBB (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Barat), juga menunjukkan data positif. Gubernur Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memberlakukan PSBB di sebagian wilayahnya, juga melaporkan trend positif. Termasuk, Gubernur DI Yogyakarta, yang tidak memberlakukan PSBB melainkan dengan kearifan lokal, juga berhasil menahan warganya untuk tetap di rumah, dan itu menekan angka korban.

Sementara, di Sumatera Barat, data di RSUP Dr Djamil sebagai RS Rujukan Covid-19, juga menurun. Dari jumlah 112 bed yang disediakan bagi pasien Covid-19, hanya terisi 46. Kemudian di RS Hasan Sadikin Bandung, dari 135 bed, hanya ada 30 pasien. Itu semua data per 12 Mei 2020.

Dalam Ratas kemarin, Presiden Jokowi juga kembali menegaskan, bahwa pemerintah pusat tidak pernah memaksakan pemberlakuan PSBB di daerah. PSBB adalah salah satu opsi. Akan tetapi, sesuai kebijakan dan diskresi yang dimiliki, para kepala daerah bisa juga melakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi masing-masing, yang intinya kepatuhan menjalankan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

Intinya, keberhasilan penanganan wabah, bukan semata-mata pada PSBB –ansich– melainkan pada kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan, yang sudah disosialisasikan secara besar-besaran.

Risiko Kematian

Akan halnya program pelonggaran yang sempat memicu kontroversi, hari ini semakin banyak masyarakat yang menyadari duduk persoalan yang sebenarnya. Sebab, kelonggaran bekerja kepada kelompok usia di bawah 45 tahun, memang dengan stressing atau penekanan pada kalimat “tetap mengacu pada ketentuan PSBB dan protokol kesehatan”.

Dengan dukungan data yang dihimpun Ketua Pakar Gugus Tugas, Prof Wiku Adisasmito, Doni Monardo mengimbau para pimpinan perusahaan atau instansi untuk memprioritaskan karyawan yang bekerja pada kelompok usia di bawah 45 tahun. Itu pun, harus karyawan yang tidak memiliki riwayat penyakit bawaan.

Adapun bidang yang diperbolehkan, sesuai Pasal 13 Permenkes No. 9/2020 tentang PSBB, adalah 11 bidang. Kesebelas bidang itu  adalah tempat kerja yang memberikan pelayanan: 1). Hankam; 2). ketertiban umum; 3). Pangan; 4). BBM & Gas; 5). Pelayanan kesehatan; 6). Perekonomian; 7). Keuangan, 8). Komunikasi; 9). Industri; 10). Ekspor dan impor; 11). Distribusi logistik dan kebutuhan dasar lainnya.

Ihwal mengapa usia 45 tahun ke bawah yang diberi kelonggaran? Juga bukan tanpa alasan. Berdasar catatan Prof Wiku, kelompok usia itu yang risiko kematiannya paling kecil (15%), meski risiko terpaparnya besar. Sedangkan, risiko kematian kelompok usia di atas 46 tahun, sebesar 85%. Semua data itu dihimpun sejak pemerintah memberlakukan Masa Darurat Kesehatan tanggal 31 Maret 2020.

Lebih rinci data Tim Pakar Gugas, menyebutkan, sebagian besar korban Covid-19 meninggal adalah pemilik penyakit bawaan ginjal, yakni mencapai 7 dari 10 pasien. Urutan kedua, yang berpenyakit jantung, 5 dari 10 pasien.

Itu termasuk karyawa  PT Sampoerna Surabaya yang meninggal April lalu, masing-masing berusia 47 dan 48 tahun.

Fase Rehabilitasi

Satu hal lagi yang menjadi pertanyaan banyak orang, “Kapan wabah corona berakhir?” Berbagai media sudah melansir prediksi berakhirnya wabah. Ada yang bersumber dari institusi pemerintah, ada yang bersumber dari akademisi, sampai perkiraan para ulama, hingga paranormal.

Jika “percaya” adalah “vitamin” yang bisa menimbulkan rasa optimisme, rasanya boleh-boleh saja. Meski begitu, kebijakan memilah informasi tetap saja diperlukan. Tetap saja, akal sehat harus dikedepankan.

Wabah Covid-19 ini tidak sama dengan game online sejenis Mobile Legend, Battleroyale, Free Fire dan lain-lain, yang mengenal istilah game over. Tapi jika Anda menganggap ini sejenis game online, baiklah mari kita berimajinasi.

“Game” Covid-19 ini melibatkan pemain seluruh bangsa. Jika anda “mati” tertembak musuh di game online, artinya Anda tidak sebenar-benarnya mati. Sedangkan, serangan virus corona, benar-benar bisa membunuh dalam arti sebenarnya.

“Game” Covid-19 juga bukan everlasting game. Ia memiliki durasi. Bisa selesai dalam hitungan bulan, bisa juga dalam hitungan tahun. Berbagai kebijakan yang telah dijalankan selama ini, termasuk penetapan status darurat kesehatan, pemberlakukan PSBB, serta pelaksanaan secara ketat protokol kesehatan di setiap lapis masyarakat, adalah strategi menggempur corona.

Kapan “game over”-nya, jawaban pasrah tetapi realistis adalah, “Hanya Tuhan yang tahu pasti.” Yang bisa kita lihat saat ini, adalah sebuah progres. Gerak maju ke arah kemenangan. Ingat. Sudah banyak nyawa melayang. Termasuk para dokter dan tenaga medis.

Berulang kali, Letjen TNI Doni Monardo, sebagai “panglima perang melawan Covid-19” menyatakan concern-nya untuk sebuah tekad, “Yang sakit menjadi sehat, yang sehat tetap sehat.” Semua kebijakan, tidak sekalipun diambil tanpa mempertimbangkan tekad tadi.

Karenanya, perlindungan terhadap warga agar tidak terpapar corona menjadi perhatian utama.

Bukan hanya itu, kebijakan kelonggaran PSBB juga dilakukan atas dasar pertimbangan, menghindarkan sebagian besar masyarakat kita tidak terkapar akibat PHK. Dalam banyak kesempatan, Doni Monardo menyitir ungkapan hungry man becomes angry man.

Artinya, kebijakan “kelonggaran” tadi adalah satu langkah warming up memasuki tahap rehabilitasi. Rehabilitasi itu sendiri, bagian dari PASE (Pemulihan Aktivitas Sosial Ekonomi). Inilah salah satu bentuk strategi Gugus Tugas dalam mengimplementasikan instruksi Presiden.

Untuk diketahui, PASE ini adalah fase ketiga dari lima tahapan penanganan Covid-19. Dua yang pertama adalah “Mengendalikan Covid-19” dan “Meningkatkan Ketahanan”. Setelah itu baru PASE.

Ke depan, kita harapkan, bangsa ini bisa memasuki fase “Implementasi ‘The Next Normal’”dan “Transformasi”. Usai fase ini, barulah kita bisa menyatakan “Game Over” terhadap Covid-19. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here