Mengharukan! Kisah Luhut Binsar Pandjaitan Tentang Mbah Moen

2043
Luhut Binsar Pandjaitan.

Muslim Obsession – Wafatnya KH. Maimun Zubair atau Mbah Moen di Kota Suci Makkah, Selasa (6/8/2019), meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang. Tak hanya bagi umat Islam, sosok kyai kharismatik Nahdlatul Ulama itu juga berkesan bagi para pejabat yang notabene nonmuslim.

Salah satunya adalah Luhut Binsar Panajitan. Jenderal TNI yang saat ini berada di jajaran Kabinet Kerja sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia itu rupanya memiliki kenangan dan kesan mendalam terhadap Mbah Moen.

Melalui laman Facebook-nya, Luhut menuturkan kisahnya dengan Mbah Moen. Ia merespon wafatnya Mbah Moen dengan tulisan yang menyentuh. Berikut tulisan dimaksud:

 

LBP dan Mbah Moen. (Foto: Facebook LBP)

K.H. Maimoen Zubair Yang Sangat Saya Hormati

Saya terkejut membaca pesan HP saya bahwa K.H. Maimoen Zubair atau akrab dipanggil Mbah Moen meninggal dunia di Mekkah kemarin. Usia beliau 90 tahun. Saya terdiam dengan rasa haru dan mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.

Teringat hubungan saya dengan kiai karismatik itu yang berjalan cukup lama serta sangat akrab.

Suatu ketika, sewaktu saya masih menjabat sebagai Menko Polhukam, saya memberitahu stafnya di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, bahwa rombongan kami akan mengunjungi pesantrennya.

Tiba di halaman pesanteen, barisan drum band mengiringi saya dengan meriah hingga sampai ke depan kediamannya. Lalu Mbah Moen menyambut saya dengan sangat ramah dan menggandeng tangan saya menuju tempat “upacara”. Acara penyambutan dilakukan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh penghuni pesantren dan hebatnya lagi, diikuti dengan mengheningkan cipta bagi para pahlawan nasional yang telah meninggalkan kita. Semua diiringi musik dari drum band tersebut.

Saya sudah sering mengunjungi berbagai pesantren di Jawa Tengah atau di Jawa Timur; tetapi penyambutan dengan menyanyikan lagu kebangsaan meninggalkan kesan mendalam bagi saya, seorang purnawirawan TNI. Dengan “upacara” penyambutan seperti itu, kita langsung bisa membayangkan karakternya yang menonjol sebagai seorang nasionalis, dan tentu saja tetap sebagai kiai.

Dalam berbagai dialog yang kami lakukan kemudian, saya mendapat gambaran lebih lengkap mengenai karakternya. Waktu itu usianya sudah 87 tahun, tetapi masih berpikir jernih dan amat runtut mengemukakan masalah. Para ulama menyebutkan almarhum sebagai ulama besar yang lengkap (paripurna): ahli hikmah, ahli fiqih, pandai berpidato dan terlebih, mempunyai kecintaan sempurna kepada NKRI serta kepada siapapun almarhum selalu mengemukakan dengan terbuka ketidaksetujuannya pada ide negara khilafah. Beliau tahu politik, cerdas membaca peta politik nasional tetapi bukan seorang politikus yang umumnya punya agenda tertentu.

Kalau tidak salah, adalah almarhum yang pernah berkata bahwa, “Benteng Indonesia adalah PBNU…!” Yang beliau maksudkan bukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dimana ia pernah turut besarkan; melainkan singkatan dari: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945. Bukan main!

Pada suatu hari salah seorang yang saya tugaskan untuk menjadi penghubung dengan Mbah Moen menelepon saya. Ujarnya, Pak Kiai baru saja diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana, dan ketika diajak Pak Jokowi untuk sholat Jumat di masjid Istana, beliau dengan halus menolak, dan mengatakan, “Saya mau sholat di masjidnya Pak Luhut saja! …” Terharu saya mendengar informasi itu, dan segera saya undang beliau untuk datang ke kantor saya (waktu itu) Kemenko Polhukam di Jalan Merdeka Barat. Di sana saya sambut beliau sambil berkata, “Monggo Pak Kiai kalau mau sholat silakan….”Mbah Moen menjawab, ia tidak hanya sekedar ingin sholat bersama, tetapi juga ingin memberikan khobah dan jadi imam sholat. Untuk kedua kalinya saya terharu. Pengurus masjid saya panggil, dan mereka juga hampir tidak percaya bahwa seorang kiai yang begitu senior dan tenar mau berkhotah di masjid Polhukam.

Hati saya berkata, itulah cara kiai yang paripurna itu menunjukkan hormatnya yang tulus kepada saya. Tanpa bicara, saya merasakan kehalusan budinya.

Beberapa waktu setelah kejadian di Jakarta tersebut, saya menemani Presiden Jokowi untuk kunjungan kerja di kota Semarang. Siang-siang, Pak Jokowi tiba-tiba saja berkata, “Pak Luhut, saya mau bertemu dengan Mbah Moen di sini. Bisa diatur kan?” Saya mengiyakan, dan langsung meminta pihak TNI-AD menyediakan sebuah helikopter. Hanya bersama seorang staf saya terbang ke pesantrennya di Rembang, menjemputnya dan membawa beliau dengan helikopter itu ke Semarang. Saya tidak ikut dalam pembicaraan mereka berdua, tetapi setelah berbicara cukup lama, saya menghantarkan kembali Mbah Moen ke Rembang. Dengan helikopter juga tentunya.

Memang saya tahu bahwa Mbah Moen dan Pak Jokowi juga mempunyai hubungan pribadi yang sangat erat. Kapan saja almarhum mau bertemu Presiden, selalu ada waktu khusus untuk Mbah Moen di mana pun. Sebaliknya beberapa kali Presiden ke Rembang dan mereka berdua berbicara empat mata di kamar pribadi Pak Kiai, konon sampai sholat bersama.

Kembali saya merenung. Wafatnya K.H. Maimoen Zubair bukan hanya kehilangan bagi keluarganya, kesedihan bagi para santri di pesantrennya, atau juga kedukaan bagi PB-NU dan PPP (beliau adalah Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan) tetapi juga kehilangan besar bagi bangsa dan negara kita. Seorang yang selalu konsisten menjadi penjaga terdepan keutuhan NKRI.

Selamat jalan Mbah Moen!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here