Mendiskusikan Pikiran Mas Menteri

1266

Oleh: Muslich Taman (Pemerhati Pendidikan, dan Pendiri Rumah Baca Anak Indonesia)

Para pelaku pendidikan di Tanah Air menunggu dengan ‘harap-harap cemas’ kebijakan baru Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam pentas pendidikan Tanah Air ke depan. Kini sudah mulai terbaca, bagian-bagian pikiran pendidikan Sang Menteri yang akan diterapkan, meski masih bagai puzzle yang belum utuh.

Sebagian ada yang melanjutkan dan mempertegas konsep lama, sebagian ada yang baru. Sebagian, saya setuju, dan sebagian lain, saya kurang setuju, bahkan sama sekali tidak bisa memahami apa yang sebenanya dimaksud oleh Mas Menteri.

Terutama terkait ucapan Mas Menteri, seperti yang dimuat berbagai media, saat beliau menghadiri RDP bersama Komisi X DPR di Senayan Jakarta, Kamis (12/12/2019), dimana selain menjelaskan Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”, Mas Nadiem menilai bahwa saat ini dunia tidak butuh siswa yang jago menghafal.

Bagi saya, pernyataan Mas Menteri di atas, sulit dimengerti dan diterima. Bahkan saya menganggapnya, bisa berbahaya. (Baca juga: TGB: Menghafal itu Melatih Otak, Mengasah Kecerdasan)

Mendemotivasi anak-anak bangsa yang sedang bersemangat menghafal, mencari bekal untuk mengabdi demi kemuliaan bangsanya, sebagaimana para ulama mereka dulu telah terbukti berjuang mengawal moral Indonesia. Dengan cara mereka.

Mereka menghafalkan ribuan teks-teks agama, kemudian meneladankannya, sebelum mengajarkan kepada para santri dan murid mereka, sebagai pedoman perilaku mulia mewujudkan kemerdekaan dan kejayaan bangsanya.

Paling tidak, menurut saya, pandangan Mas Menteri di atas tidak tepat bagi Mata Pelajaran Pendidikan Agama, khususnya Islam.

Silakan konsep Mas Menteri diterapkan untuk mata pelajaran apapun. Tapi tidak pas, untuk mata pelajaran Agama yang punya teks-teks suci, yang harus senantiasa dijaga dalam hati para pemeluknya.

Cukup banyak teks agama yang dengan terang benderang memuji dan mengangkat derajat mereka, para penghafal. Satu saja, saya kemukakan di sini. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مثل الذي يقرأ القرآن وهو حافظ له مع السفرة الكرام البررة ومثل الذي يقرأ وهو يتعاهده وهو عليه شديد فله أجران. رواه البخاري (4653) و مسلم (798

“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran, sementara dia telah menghafalkannya, maka mereka bersama para malaikat yang mulia. Dan perumpamaan yang membacanya dalam kondisi berusaha keras (belajar membacanya) maka dia mendapatkan dua pahala,” (HR. Al Bukhari no. 4653 dan Al Muslim no. 798).

Betul memang, Barat tempat di mana Mas Nadiem dididik, tidak menerapkan metode menghafal, karena memang mereka tidak punya teks yang suci dan penting untuk dihafal.

Apalagi, hingga diyakini bahwa menghafalnya adalah ibadah dan berpahala. Sama sekali mereka tidak punya itu. Maka wajar, mereka selain tidak menghafal, mereka juga anti dengan menghafal.

Bahkan, bisa saja, maaf, Barat dengan konsep anti menghafal ini, memiliki agenda lain di balik itu. Yaitu, hendak mendemotivasi metode menghafal yang selama ini kuat diterapkan di dunia pendidikan Islam.

Sebagai khazanah ilmiah Islam yang orisinil, dan terbukti mampu menjaga otentitas teks-teks Islam dari zaman ke zaman, hingga hari ini. Sesuatu yang tak mampu Barat lakukan.

Saya setuju pandangan salah seorang Pemerhati Pendidikan Islam yang mengatakan bahwa keunggulan pendidikan Islam pada masa keemasannya, justru diawali dengan menghafal.

Ribuan ayat Al-Quran dan ratusan ribu hadits mereka hafal di luar kepala, sebelum kemudian mereka pahami dengan baik, ejawentahkan dalam kehidupan, dan berkreasi serta berinovasi dari inspirasi teks-teks agama tersebut. Itulah poin penting tanggapan saya atas pikiran Mas Menteri.

Adapun terkait kebijakan Mas Menteri yang lain, tentang Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”, pada dasarnya bagus. Yang penting, perlu dikawal bersama hingga implementasi di lapangan.

Terutama yang menjadi harapan banyak guru adalah, terkait penyederhanaan beban administrasi guru, yang seringkali tidak berkorelasi pada peningkatan kualitas peserta didik, bahkan bagi guru itu sendiri.

Guru harus dikembalikan pada khithah dan tugas utamanya, untuk mendidik dan menginspirasi peserta didiknya, yang itu semua butuh waktu lebih banyak dan intensif untuk bertemu dengan mereka.

Wallahu a’lam.

Bogor, 17/12/2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here