Merajut Jiwa
Perjalanan hidup manusia itu tercatat dan akan menjadi catatan sejarah hidupnya. Minimal akan menjadi sejarah bagi diri sendiri, yang setiap orang akan membacanya pada masa yang telah ditentukan.
“Iqra’ kitaabak…kafaa biNafsikal yauma alaika hasiba”, kata manual hidup manusia.
Dan kerenanya setiap detak perjalannnya akan menjadi bagain dari catatan pertanggungjawaban itu. Di saat anda berumur 1 – 2 tahun anda bagaikan adonan yang dibentuk oleh orang tua, khususnya Ibu. Mau dijadikan gorengan apapun sesungguhhnya ada di tangan siapa yang membentukmu.
Memasuki umur 3-6 tahun terjadi pergesekan antara pengaruh orang lain dan upaya diri sendiri dalam mewarnai jiwa seseorang. Dalam dunia teknologi dan kemajuan informasi dan telekomunikasi, anak pada fase ini pun terkadang dibentuk oleh mainannya.
6-12 tahun masa membangun pondasi. Masa menentukan soliditas atau kerapuhan pondasi jiwanya. Wajar saja kalau fase ini sekolahnya dikenal dengan “sekolah dasar”. Ibarat bangunan sedang terjadi penataan pondasinya.
Tapi sejatinya bangunan kehidupan itu akan mulai terbentuk warnanya ketika memasuki umur 12 ke atas. Masa itu sebuah gedung dapat dinilai secara kasat, baik atau buruknya. Dalam bahasa agama, di saat inilah seseorang memulai pertanggungjawaban, memasuki umur “akil dan balig”.
Perjalanan selanjutnya adalah masa 18 – 25 tahun. Sebuah rentang kehidupan untuk meneruskan membangun, memperkokoh dan mempercantik hidup anda. Masa ini adalah masa membangun warna karakter hidup.
Di saat mencapai umur 25 hingga 40 tahun anda memasuki tingkat kematangan dalam kedewasaan. Umur nikah, bekerja dan membangun masa depan warna kehidupan. Pada rentang masa itu bangunan itu masih bisa bongkar pasang, menata untuk masa yang tiada kembali.
Di saat anda memasuki umur 40 tahun berarti anda mencapai tingkat kedewasaan tertinggi. Wajar jika kenabian nabi-nabi dimulai ketika berumur 40 tahun. Kecuali Isa AS tentunya. Posisi ini tidak bertahan lama. Antara 40, 50, maksimal 65 tahun. Itulah rata-rata umur umat Muhammad SAW.
Kenyataan inilah yang diingatkan oleh Rasul bahwa jika anda yang berumur 40 tahun atau lebih, tapi anda tidak melakukan perubahan, acuh dengan pembenahan karakter, tunggu akibat yang tiada berujung.
Di saat masanya anda berbenah, tapi anda biarkan bocoran atap rumah anda, atau dinding rumah anda dimakan rayap, maka tunggu kehancuran dan keruntuhannya.
Demikianlah ketika anda sudah melewati 40 tahun tapi penyakit jiwa tidak diobati, bahkan berakibat kepada tumbuhnya prilaku destruktif; angkuh, busung dada, iri hati dan hasad, sering mengharap dipuji tanpa dasar (yuriiduuna an yuhmadu bimaa lam yaf’alu). Di saat itu berhati-hatilah jangan-jangan itu memang tabiat dasar anda. Khawatirnya tabiat itulah yang anda akan bawa hingga ke liang kubur.
Ada orang sakit hati karena disakiti atau dizolimi orang lain. Itu wajar dan alami. Tapi seringkali keanehan terjadi. Ada orang yang sakit hati tanpa sebab. Hanya karena orang lain di sekitarnya dianggap lebih dari dirinya, dan menjadi ancaman, entah itu kenyataan atau sekadar ilusi.
Jika hal seperti ini terjadi pada seseorang, sungguh sebuah penyakit kronis yang berakibat destruktif, baik pada dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Penyakit jiwa tanpa sebab ini rata-rata terjadi ketika seseorang berambisi selangit, sementara kemampuannya secuil. Nafsu setinggi langit, tapi energi positifnya loyo. Menjadikannya ibarat katak di bawah tempurung. Ingin terbang apa daya sayap terputus secara khalqi.
Akibatnya orang ini akan dijangkiti penyakit murakkab (berlipat ganda). Di satu sisi karena ambisi itu akan semakin memaksakan diri untuk sesuatu yang di luar kapasitasnya. Di sisi lain dengan mudah menyalahkan, jika tidak orang lain, maka dirinya akan menjadi bulan-bulanan kemarahan. Itulah kenyataan di dunia modern, betapa keputus asaan, bahkan bunuh diri menjadi “salvation” (penyelamatan) pintas.
Atau akan nampak dalam prilaku sosial dan lingkungannya. Pada tataran rumah tangga misalnya, tingkat kekerasan rumah tangga (domestic abuses) dan percaraian drastis meninggi. Justeru itu terjadi di saat semua fasilitas duniawi lebih tersedia. Dari kampung, ke kota-kota besar, hingga ke jantung dunia bahkan Hollywood, fenomen ini nyata di depan mata kita semua.
Itulah akibat kerapuhan mental, atau bahkan tidak berlebihan jika saya menyebutnya “mental disorder” (penyakit mental).
Orang yang berpenyakit mental yang demikian biasanya hanya mampu merintih kesakitan dalam selimut tebalnya, sambil bermimpi terbang tinggi ke angkasa luar.
Ketidakmampuan dalam memburu ambisinya membawa kepada sikap menyalahkan setiap nyamuk yang beterbangan di semitarnya. Bahkan nyamuk-nyamuk yang beterbangan sambil bersiul itu dilihatnya sebagai ancaman bagi dirinya…..bagaikan bom nuklir yang akan menghamburkan darah dagingnya setiap saat. Dan semoga Allah menjaga!